This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday 19 June 2011

Umat Pertengahan

“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat wasath agar kalian menjadi saksi atas segenap manusia…” (QS Al-Baqarah: 143)

Wasath dalam ayat ini memiliki beberapa pengertian. Yang pertama adalah pertengahan, lurus di tengah, tidak menyimpang ke kiri atau ke kanan. Dalam hal aqidah, Islam tidak menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk sebagaimana Yahudi, tetapi tidak pula menyifati makhluk dengan sifat ketuhanan sebagaimana Nasrani. Islam menyifati Allah dengan sifat kesempurnaan, menyucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatupun dari makhluk-Nya. Demikian pula, Islam tidak mengingkari kenabian Isa as dan membunuh para nabi sebagaimana Yahudi, tetapi tidak pula mempertuhankan Isa as sebagaimana Nasrani. Islam mengakui Isa sebagai hamba Allah sekaligus rasul pilihan-Nya, dan mengakui serta memuliakan semua nabi dan rasul yang diutus oleh Allah.


Dalam hal syariat, Yahudi mewajibkan hukum balas (qishash) secara mutlak terhadap setiap bentuk kezhaliman, tanpa ada peluang pemaafan. “Mata dibalas dengan mata, hidung dibalas dengan hidung, telinga dibalas dengan telinga, gigi dibalas dengan gigi, dan setiap luka pun ada qishashnya.” Sedangkan Nasrani sebaliknya memiliki sikap yang terlalu lunak: “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Adapun Islam adalah syariat pertengahan. Islam memberikan hak untuk membalas (qishash) dengan yang setimpal tetapi pada saat yang sama mengatakan: “Jika kamu memaafkan, maka itu lebih baik bagimu.”

Islam tidak mengingkari kepemilikan individu dan tidak pula melarang sebagian orang lebih kaya daripada yang lainnya, sebagaimana diajarkan komunisme. Namun Islam juga mengecam jika kekayaan hanya berputar-putar diantara segelintir manusia, sehingga yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin (kapitalisme). Syariat Islam berada di pertengahan: mempersilakan seseorang menjadi kaya tetapi juga mewajibkan kepadanya untuk berzakat dan berinfaq karena didalam hartanya ada hak orang-orang yang membutuhkan.

Dalam hal perilaku, Islam tidak memerintahkan kita untuk meninggalkan dunia dan berubah menjadi para rahib, tetapi Islam juga melarang kita diperbudak oleh dunia lalu melalaikan akhirat. Islam mengajarkan keseimbangan: berorientasi akhirat tetapi tidak lupa dunia.

Islam melarang dan tidak menyukai sikap ekstrim. Islam melarang kita berlebih-lebihan dalam agama (ghuluw). Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw mencela tiga orang sahabatnya yang hendak shalat malam semalam suntuk, berpuasa terus-menerus, dan pantang menikah dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Rasulullah saw memberikan jalan tengah dengan mengatakan: “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa namun juga berbuka, aku shalat malam namun aku juga tidur, dan aku juga menikahi perempuan. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Orang yang berlebihan dalam agama pasti akan dikalahkan olehnya..” (HR Bukhari dan Nasai dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 1611).

Sebaliknya, Islam juga melarang kita meremehkan, memudah-mudahkan dan menggampangkan agama (tasahul). Menganggap boleh perkara-perkara yang dilarang oleh agama. Mengutak-atik perkara-perkara prinsip yang sudah final dalam agama ini. Dan mencari-cari keringanan tanpa bersandar pada dalil yang kuat. Sebagaimana Islam melarang sikap terlalu keras dalam agama, Islam juga melarang sikap yang terlalu liberal. Bersikaplah yang pertengahan.

Islam tidak membenarkan orang-orang yang berlebihan dalam memaknai jihad. Islam tidak mengajarkan bahwa setiap orang kafir boleh dibunuh. Islam telah meletakkan aturan yang jelas kapan jihad harus dilakukan, syarat-syaratnya, terhadap siapa ditujukan, dan apa saja adab-adabnya. Namun jangan pula kemudian menafikan jihad dan mengatakan bahwa Islam tidak mengenal jihad dan perang, hanya karena ingin dianggap bahwa Islam cinta damai. Negeri ini dulu bisa meraih kemerdekaan juga dengan jihad. Bersikaplah pertengahan. Islam cinta damai, namun Islam juga mengenal jihad, hanya saja jihad itu ada aturan-aturannya, syarat-syaratnya, dan adab-adabnya. Jihad tidak boleh dilakukan dengan serampangan.

Kembali kepada QS Al-Baqarah: 143, wasath dalam ayat tersebut juga bermakna terbaik. Ini sesuai dengan firman dalam QS. Ali Imran : 110: “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” Kini mari kita berkaca, apakah kita sudah merasa menjadi yang terbaik? Ataukah sebaliknya kita masih berada dalam keterbelakangan? Apakah kita layak disebut terbaik sementara kita masih yang terdepan dalam hal korupsi dan inefisiensi?

Wasath dalam QS Al-Baqarah: 143 juga bermakna adil. Dan untuk itulah dalam ayat tersebut dinyatakan: “agar kalian menjadi saksi atas segenap manusia”. Untuk bisa menjadi saksi, diperlukan sifat adil. Allah SWT menghendaki agar umat ini menjadi saksi, penengah, dan “wasit” bagi segenap manusia diatas muka bumi ini, karena Allah tahu bahwa hanya umat ini sajalah yang bisa berlaku adil. Namun kini apa kenyataannya? Alih-alih menjadi saksi, umat ini justru menjadi tersangka, terdakwa, dan bahkan pesakitan. Berbagai propaganda dan stigmatisasi negatif dan tak henti-hentinya dilancarkan kepada Islam dan umat Islam. Apakah kita rela?


Ikadi Jawa timur(http://ikadijatim.org)