This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, 18 March 2010

Mengapa Kalian Rampas Akhwatnya Jika Benci Manhajnya ?

Seperti minggu sore kemarin, syura’ rutin DPRa di Kantor DPC. Agak Bete sedikit memang, tapi bukan karena bahasan syuranya, seperti biasa lah, selalu ada saja yang disewotin.
“Kenapa akh, dari tadi keliatan agak bete ghitu”, Tanya Ridwan, ketua DPRa, “Ada masalah?”, tanyanya lagi.
“Mba Nilam kemana, abis nikah kok nggak nongol-nongol?”
“Ada urusan keluarga kali, soalnya nggak ada kabar ke ana”, jawab Ridwan singkat.
“Dikerem suaminya kali ya?”, tanyaku polos.
“Astaghfirullah, mana ana tahu akhi. Lagian apa urusan kita terhadap mereka”, sergah Ridwan kepadaku.
“Kayanya kejadiannya bakalan sama seperti ukhti Intan tuh”, tandasku lagi.
“Antum ini ngomong apa sih”, Tanya Ridwan bingung. “Nggak jelas juntrungannya, ana nggak ngerti maksud pembicaraan antum.”
“Iya, mulai dari Ukhti Intan, kemudian Mba Nilam, siapa yang sibuk coba, bantuin mereka ngurusin pernikahannya?”, tanyaku ke Ridwan yang cuma makin bingung dengan ulahku.
“Astaghfirullah, akhi.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), (Qs. Al-Baqarah: 264)

Kok antum masih ungkit itu lagi sih. Kan kita sudah sepakat nggak akan bahas itu terus,” jelas Ridwan yang sepertinya sudah paham maksud kebawelanku.
“Ana sudah nggak tahan. Mungkin Mba Nilam adalah yang terakhir buat ana,” celotehku lagi.
“Maksudnya akhi?” tanya Ridwan.
“Ana janji, ana nggak akan bantuin akhwat manapun jika mereka nikah sama ikhwan Salafy!”, teriakku kesal.
“Loch, memangnya kenapa?”
“Ya, antum sendiri lihatkan. Waktu nikah, yang sibuk itu kita. Boro-boro ada ikhwah Salafy yang mau ikutan bantuin temennya nikah. Udah gitu, setelah mereka jadi nikah, seperti biasa, si akhwat nggak boleh lagi terlibat aktivitas kita,” jawabku dengan nada tinggi.
“Antum nggak boleh gitu akhi. Nggak semuanya seperti itu kok. Itu buktinya si Abu Zainuddin. Nanti jadi sia-sia loch apa yang sudah diamalkan kemarin,” seloroh Ketua DPRaku khawatir.
“Iya, kalau Abu Zainuddin mah nggak usah diomongin. Beliau itu udah the bestnya salafy dech, beda banget. Tapi, kenapa sich, mereka mau menikahi akhwat tarbiyah? Memangnya mereka nggak punya stock akhwat apa? Kalau mereka benci manhajnya, seharusnya mereka benci akhwatnya juga dong!”, teriakku lagi sambil nahan marah.
Ridwan, ketua DPRaku cuma miris dan berkata “Antum nggak boleh gitu akhi.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Mungkin memang sudah jodohnya. Mau dengan Salafy, mau dengan ikhwan tarbiyah, atau mau dengan yang ammah sekalipun, kalau sudah jodohnya, ya mereka pasti akan menikah, kalau Allah sudah berkehendak, mau ditolak bagaimana?”.
“Gini-gini loch akh. Maksud ana, ana nggak habis pikir aja. Kan mereka sebut kita ahlul bid’ah. Dan ahlul bid’ah itu menurut mereka lebih sesat dari ahlul maksiat. Tapi kenapa mereka malah mencari akhwat tarbiyah yang jelas-jelas ahlul bid’ah menurut mereka. Ini yang ana nggak ngerti,” tanyaku panjang lebar.
“Akhi, tidak ada yang memungkiri, akhwat tarbiyah itu sangat militan dalam berdakwah. Kesibukan apapun yang menyertai mereka. Kuliah, kerja atau ngurus keluarga. Kalau sudah panggilan dakwah, pasti mereka kejar. Hijab dan busana muslim yang panjang tidak menyurutkan gerak gesit mereka,” jelas Ridwan santai.
“Jadi itu alasan mereka menikahi akhwat kita?”, tanyaku sewot.
“Akhwat kita?” tanya Ridwan sambil manyun. “Ngaku-ngaku akhwat kita, sembarangan. Nanti dimarahin bapaknya para akhwat baru tau rasa loch.”
“Bukan, bukan itu. Maksud ana akhwat tarbiyah,” sergahku cepat “Tapi pasti ada alasan lain, kenapa mereka lebih senang merampas akhwat tarbiyah dibandingkan akhwat salafy?”.
“Waduh, merampas, kesannya kasar banget. Jangan gitu akhi. Kalau alasan kenapa mereka tidak memilih akhwat salafy, ana tidak tahu, mungkin memang kurang stock?” jawab Ridwan.
“Atau mungkin karena ekstrim juga!?”, timpalku langsung.
“Hush!!! Sembarangan!”, cegah Ridwan atas komentarku.
“Assalamu’alaikum”, tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu.
“Wa’alaikum salam ustadz. Ana fikir ustadz sudah pulang. Afwan, kita terlalu rame ya?” jawabku spontan atas sapaan salam ustadz Azri, ketua DPC kami yang tiba-tiba keluar dari balik pintu secretariat.
“Hemm… afwan dari tadi ana mencuri-curi dengar sambil senyum di dalam,” selorohnya pada kami sambil ikut duduk di bangku bambu tepat di sebelah kiriku. “Sepertinya seru juga diskusinya,” lanjutnya lagi,”Memang tidak ada habisnya kalau membicarakan salafy”. Aku cuma senyum, agak sedikit malu karena kesewotanku didengar beliau.

“Begini akhi, apa yang sudah akhi Ridwan katakan itu benar, akhwat tarbiyah itu memang super. Tapi kalau mereka kurang stock akhwat ana juga nggak yakin. Apalagi kalau alasannya seperti yang antum omongin tadi. Yang pasti, kemungkinan alasannya, ini pun baru menurut ana loch. Karena seorang yang telah tarbiyah dan telah mengikuti amal jama’i di dalam jamaah ini, yang telah tahu karaktristik manhaj ini dengan baik dan mendalam, selalu berhusnudzan terhadap qiyadah, pasti telah memiliki pondasi yang bagus tentang keislaman mereka. Mulai dari Al-Qur’an dan ulumul Qur’an, Hadist dan ulumul hadits, Aqidah Islam, Fiqih, Sirah, akhlaq, kepribadian muslim, dan lain sebagainya. Belum lagi ditambah dengan materi-materi yang berhubungan dengan pengembangan diri mereka, seperti bagaimana mengelola waktu, bagaimana berkomunikasi efektif, managemen organisasi, urgensi kaderisasi dan lain-lain. Tak ketinggalan sampai kepada pembahasan dakwah dan pemikiran islam serta materi yang membahas social kemasyarakatan.”
“Intinya mah tinggal poles dikit gitu ya ustadz?”, timpalku lurus.
Ustadz Azri cuma senyum denger ucapanku, “Itupun baru tarbiyah tingkat pemula loch akhi. Kalau seluruh kader sabar dalam halaqahnya, pasti mereka menjadi muslim mandiri. Tidak malas-malasan. Kritis. Rajin menghadiri kajian Islam. InsyaAllah, mereka jadi kader sejati, yang tidak mudah terombang-ambing.”

“Oh, gitu ya ustadz”, tanyaku takjub, “Loch, lantas kenapa orang-orang Salafy yang ana temui, sebagian besarnya bercerita bahwa mereka mantan tarbiyah,” timpalku lebih lanjut.
“Coba dech, antum perhatikan. Sebagian mereka, apakah mantan tarbiyah, atau mantan Jamaah Tabligh atau mantan jamaah lainnya. Pasti ceritanya selalu tentang kekurangan. Ya, merekalah orang-orang yang selalu melihat kekurangan yang dimiliki orang lain. Mereka belum paham karakteristik dari tarbiyah itu sendiri. Mereka adalah orang-orang yang tidak sabar. Mereka adalah orang-orang yang selalu membutuhkan motivasi dari luar. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau mengembangkan ilmu mereka dengan potensi yang mereka miliki untuk berkontribusi kepada umat. Tapi saksikanlah akhi. Mereka hanya akan ghirah di awal. Mereka tidak akan bertahan lama. Karena hanya sebagian kecil saja dari mereka yang memiliki jiwa ikhlas seperti Abu Zainuddin” jelas Ridwan panjang lebar.

“Sudah akhi Ridwan jangan diteruskan. Tidak baik akhi, ada baiknya kalau kita selalu berusaha untuk membersihkan hati kita” pinta ustadz Azri berusaha memutus penjelasan Ridwan. “Antum sendiri sudah sampai mana materi halaqahnya,” tanya ustadz Azri, ketua DPCku tiba-tiba.

“Ups!”, agak kaget. “Hik..hik.. ana baru enam bulan ustadz, baru juga masuk materi akidah tauhid,” jawabku malu sambil cengengesan. “Ya, kalau boleh dibilang anak ingusan di tarbiyah githu… hehehe…,” ujarku berusaha membela diri.

“Tapi kayanya antum sudah lama ikut aktifitas amal jamai ya?” tanya ustadz Azri kepadaku. “Soalnya ana sering lihat antum di berbagai tempat kegiatan bakti social, nggak cuma di DPRa antum saja?”
“Iya, ustadz, ana sibuk banget. Kerja, dari pagi sampe malem. Maklum kuli.. hehehe… Takut halaqahnya nggak serius, jadi ana fikir biar ana aktif di kegiatan social kemasyarakatannya saja, ternyata tarbiyah point utamanya. Sekalipun agak terlambat, nggak apa-apa lach”

“Nah, ini dia ustadz, salah satu penyebab akhwat-akhwat kita keburu dinikahi ikhwan bukan tarbiyah,” tuduh Ridwan kepadaku.
“Maksudnya?”, tanyaku bingung.
“Ya, antum ini lah salah satu penyebabnya. Sudah kerja, punya kendaraan, manager pula status di kantornya. Masih juga belum mau nikah. Jangan marah dong kalau akhwat tarbiyah dinikahi sama ikhwan salafy. Antum terlalu idealis sih”, tuding Ridwan lagi kepadaku.
Aku makin mati kutu dibilang begitu, “Afwan, afwan akhi, ustadz, ana nggak idealis kok. Ana tidak pernah terpikir, kalau ana punya kriteria khusus terhadap akhwat yang akan ana nikahi. Masalahnya beda. Ini masalah target masa depan. Masa akhwatnya hebat ikhwannya jeblog, nanti ana malu khan. Dan ana juga nggak mau pusing, gara-gara mikirin uang untuk resepsi, untuk lahiran, pendidikan anak, makan sehari-hari dan lain sebagainya,” jelasku membela diri.
“Memang antum usianya berapa sekarang?” tanya ustadz Azri sambil nepuk-nepuk bahuku.
“Seperempat abad lebih dikit ustadz”, jawabku. “Belum tua banget khan?” tanyaku langsung kepada beliau.

Beliau cuma tersenyum dan berkata, “Belum, belum tua kok.” Sementara Ridwan ketua DPRaku sudah pegang perutnya menahan geli.
“Loch, antum kenapa? Kok kayanya geli banget dengar umur ana seperempat abad?” tanyaku ke Ridwan bingung.
Ustadz Azri menepuk lututku, “Dulu, waktu ana nikahi istri ana, ana baru berumur sembilan belas tahun akhi. Masih kuliah di LIPIA” terangnya sambil tersenyum teduh.
“Hah…” ternganga aku sambil takjub. “Sembilan belas tahun! Masih muda banget ustadz. Waduh, ana ketuaan dong ya?”
“Bukan tua lagi mas, udah engkong-engkong,” canda Ridwan sambil terus pegangi perutnya menahan geli dan “Ana aja udah punya anak dua waktu umur segitu”.
“Ya ampun, jangan-jangan hampir sebagian besar ikhwan kita seperti ana kali ya!” sergah aku masih dalam keadaan terkejut. “Pasti ustadz anak orang kaya kan, jadi kalau bingung dengan masalah keuangan tinggal minta bantuan?” tanyaku sambil terus berusaha membela diri.

“Alhamdulillah, ana di Jakarta sendirian akhi. Orang tua ana di Padang Pariaman. Di Kampung. Waktu itu ana tinggal di tempat paman ana. Ya sambil bantu-bantu beliau, ana juga jualan buku-buku Islam sambil kuliah di LIPIA karena ana yakin

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
(Qs. At-Thalaaq: 3)

” jelasnya panjang lebar sambil berusaha meyakinkan aku.
“Waduh, malu banget ana nih ustadz. Ana yakin, ikhwan-ikhwan kita memang terlalu idealis, bertahan dengan kejombloannya, karena terlalu khawatir seperti ana. MasyaAllah….”

“Makanya itu akhi, antum jangan sewot kalau akhwat-akhwat tarbiyah dinikahi ikhwan-ikhwan salafy. Nggak ada pilihan lain, sekalipun mungkin mereka tidak mau, tapi daripada jadi khawatir kali. Mau dibilang apa?” tuding Ridwan lagi kepadaku.
“Ya, iya juga sich, mungkin salah ana juga kali ya,” jawabku lirih.
“Ya, nggak salah antum aja, tapi semua ikhwan tarbiyah yang punya kekhawatiran berlebihan seperti antum, antum niatkan saja untuk segera menikah. Ana ada chanel nih. Antum mau nggak ana kenalin. Mad’unya istri ana,” tawar ustadz Azri serius sambil terus tersenyum, “Kayanya cocok dech sama antum”.

“Aduh ustadz, tapi ana tetep nggak bisa terima. Kalau mereka mau menikahi akhwat tarbiyah, jangan matikan dakwah mereka juga dong. Enggak sopan tuh namanya. Kita yang bangun dia yang nikmatin. Standard ganda banget sich! Manhajnya di benci, tapi akhwatnya doyan! Atau ana aja yang nikahin akhwat Salafy ya ustadz, biar mereka jadi baik hati dan lembut. Kan impas tuch!” ujarku kesel.

“Astaghfirullah akhi, sudahlah, jangan dipikirin yang kaya gitu. Pasti semuanya ada hikmahnya. Baik buat kita maupun buat mereka. Jangan biarkan ketidaksukaan antum terhadap mereka membuat antum tidak adil.

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Maidah: 8 )

Kita do’akan, sekalipun mereka tidak beramal jama’i lagi dengan kita, mudah-mudahan ghirah dakwah mereka tidak mati. Ya minimal beribadah untuk suami dan keluarga mereka, kan sama saja, sementara mantan murabiyyah mereka mendapat pahala atas ilmu yang bermanfaat bagi mereka” terang ustadz Azri bijak.
“Iya, ya.. nggak ada untungnya buat ana. Itu sudah menjadi tanggung jawab mereka masing-masing. Mending ana focus ngurusin pekerjaan ana dan dakwah ana di manapun ana berada”, sadarku.

“Jangan lupa! bukan cuma ngurusin pekerjaan dan dakwah aja, tapi tuh, tawaran ustadz Azri diterima nggak, prediksinya cocok sama antum soalnya,” ingat Ridwan sambil rangkul bahuku.
Aku cuma mengangguk tanda setuju, sambil terus menyembunyikan malu.
“Loch, dengan akhwat Salafynya gimana?”, canda ustadz Azri, lanjutnya “Ada-ada aja antum.”Dan aku makin menunduk malu.
Sekian………

MENIKAH DENGAN 2 BIDADARI (Bidadari Dunia & Bidadari Akhirat)

Syahdan, di Madinah, tinggallah seorang pemuda bernama Zulebid. Di kenal sebagai pemuda yang baik di kalangan para sahabat. Juga dalam hal ibadahnya termasuk orang yang rajin dan taat. Dari sudut ekonomi dan finansial, ia pun tergolong berkecukupan. Sebagai seorang yang telah dianggap mampu, ia hendak melaksanakan sunnah Rasul yaitu menikah. Beberapa kali ia meminang gadis di kota itu, namun selalu ditolak oleh pihak orang tua atau sang gadis dengan berbagai alasan. Akhirnya pada suatu pagi, ia menumpahkan kegalauan tersebut kepada sahabat yang dekat dengan Rasulullah. ”Coba engkau temui langsung Baginda Nabi, semoga engkau mendapatkan jalan keluar yang terbaik bagimu ”, nasihat mereka. Zulebid kemudian mengutarakan isi hatinya kepada Baginda Nabi. Sambil tersenyum beliau berkata:

”Maukah engkau saya nikahkan dengan putri si Fulan?” ”Seandainya itu adalah saran darimu, saya terima. Ya Rasulullah, putri si Fulan itu terkenal akan kecantikan dan kesholihannya, dan hingga kini ayahnya selalu menolak lamaran dari siapapun. ”Katakanlah aku yang mengutusmu”, sahut Baginda Nabi,”baiklah ya Rasul” dan Zulebid segera bergegas bersiap dan pergi ke rumah si Fulan. Sesampai di rumah Fulan, Zulebid disambut sendiri oleh Fulan ”Ada keperluan apakah hingga saudara datang ke rumah saya?” Tanya Fulan. Rasulullah yang telah mengutus saya ke sini, saya hendak meminang puterimu si A.” jawab Zulebid sedikit gugup. ”Wahai anak muda, tunggulah sebentar, akan saya tanyakan dulu kepada puteriku.” Fulan menemui putrinya dan bertanya, ”bagaimana pendapatmu wahai putriku?” jawab putrinya, Ayah, jika memang ia datang karena diutus oleh Rasulullah saw, maka terimalah tawarannya, dan aku akan ikhlas menjadi istrinya. Akhirnya pagi itu juga, pernikahan diselenggarakan dengan sederhana. Zulebid kemudian memboyong istrinya ke rumahnya.

Sambil memandangi wajah istrinya, ia berkata, ”duhai Anda yang di wajahnya terlukiskan kecantikan bidadari, apakah ini yang engkau idamkan selama ini? Bahagiakah engkau dengan memilihku menjadi suamiku?,” Engkau adalah lelaki pilihan rasul yang datang meminangku. Tentu Allah telah menakdirkan yang terbaik darimu untukku. Tak ada kebahagiaan selain menanti malam yang dinantikan para pengantin. Zulebid tersenyum. Dipandanginya wajah indah itu ketika kemudian terdengar pintu diketuk. Segera ia bangkit dan membuka pintu. Seorang laki-laki mengabarkan bahwa ada panggilan untuk berkumpul di masjid, panggilan berjihad dalam perang. Zulebid masuk kembali ke rumah dan menemui istrinya. Duhai istriku yang senyumannya menancap hingga ke relung batinku, demikian besar tumbuhnya cintaku kepadamu, namun panggilan Allah untuk berjihad melebihi semua kecintaanku itu. Aku mohon keridhoanmu sebelum keberangkatanku ke medan perang. Kiranya Allah mengetahui semua arah jalan hidup kita ini ”istrinya menyahut, pergilah suamiku, betapa besar pula bertumbuhnya kecintaanku kepadamu, namun hak Yang Maha Adil lebih besar kepemilikannya terhadapmu. Doa dan ridhoku menyertaimu. Zulebid lalu bersiap dan bergabung bersama tentara muslim menuju ke medan parang. Gagah berani ia mengayunkan pedangnya, berkelebat dan berdesing hingga beberapa orang musuh pun tewas ditangannya. Ia bertarung merangsek terus maju sambil senantiasa mengumandangkan kalimat Tauhid.....ketika sebuah anak panah dari arah depan tak sempat dihindarinya. Menancap tepat di dadanya.

Zulebid terjatuh, berusaha menghindari anak panah lainnya yang berseliweran di udara. Ia merasa dadanya mulai sesak, nafasnya tak beraturan, pedangnya pun mulai terkulai terlepas dari tangannya. Sambil bersandar di antara tumpukan korban, ia merasa panggilan Allah sudah begitu dekat. Terbayang wajah kedua orangtuanya yang begitu dikasihinya. Teringat akan masa kecilnya bersama-sama saudaranya. Berlari-larian bersama teman sepermainannya. Berganti bayangan wajah Rasulullah yang begitu manis menyertainya tatkala ia berpamitan. Wajah cantik itu demikian sejuk memandangnya sambil mendoakannya. Detik demi detik, syahadat pun terucapkan dari bibir Zulebid. Perlahan-lahan matanya mulai memejam, senyum menghiasinya...Zulebid pergi menghadap Ilahi, gugur sebagai syuhada.

Senja datang Angin mendesau, sepi...pasir-pasir beterbangan...berputar-putar...Rasulullah dan para sahabat mengumpulkan syuhada yang gugur dalam peran. Di antara para mujahid terdapatlah tubuh Zulebid yang tengah bersandar di tumpukan mayat musuh. Akhirnya dikuburkanlah jenazah Zulebid di suatu tempat, berdampingan dengan para syuhada lain.

Tanpa dimandikan....Tanpa dikafankan... Tanah terakhir ditutupkan ke atas makam Zulebid. Rasulullah terpekur di samping pusara tersebut.

Para sahabat diam membisu. Sejenak kemudian terdengar suara Rasulullah seperti menahan isak tangis. Air tangis berlinang dari pelupuk mata beliau lalu beberapa waktu kemudian beliau seolah-olah menengadah ke atas sambil tersenyum. Wajah beliau berubah menjadi cerah. Belum hilang keheranan sahabat, tiba-tiba Rasulullah menolehkan pandangannya ke samping seraya menutupkan tangan menghalangi arah pandangan mata beliau. Akhirnya keadaan kembali seperti semula. Para sahabat lalu bertanya-tanya, ada apa dengan Rasulullah. ”Wahai Rasulullah, mengapa di pusara Zulebid engkau menangis?” jawab Rasul, ”Aku menangis karena mengingat Zulebid.Oooo..Zukebid, pagi tadi engkau datang kepadaku minta restuku untuk menikah dan engkau menikah hari ini juga. Ini hari bahagia. Seharusnya saat ini engkau seharusnya menantikan malam zafaf, malam yang ditunggu oleh para pengantin.” ”Lalu mengapa kemudian Engkau menengadah dan tersenyum?” Tanya sahabat lagi, ”Aku menengadah karena ku lihat beberapa bidadari turun dari langit dan udara menjadi wangi semerbak dan aku tersenyum karena mereka datang hendak menjemput Zulebid,” jawab Rasulullah. ”Dan lalu mengapa kemudian Engkau mamalingkan pandangannya dan menoleh ke samping?” Tanya mereka lagi, Aku memalingkan pandangan menghindar karena sebelumnya kulihat, saking banyaknya bidadari yang menjemput Zulebid, beberapa diantaranya berebut memegangi tangan dan kaki Zulebid. Hingga dari salah satu bidadari tersebut ada yang tersingkap betisnya,,...” Di rumah, istri Zulebid menanti sang suami yang tak kunjung kembali. Ketika terdengar kabar suaminya telah manghadap Ilahi Rabbi, Pencipta segala Maha Karya . Malam menjelang ....Terlelap ia, sejenak berada dalam keadaan setengah mimpi dan nyata . Lama-lama ia seperti melihat Zulebid datang dari kejauhan. Tersenyum, namun wajahnya menyiratkan kesedian pula. Terdengar Zulebid berkata, ”Istriku, aku baik-baik saja” Aku menunggumu di sini. Engkaulah bidadari sejatiku. Semua bidadari disini apabila aku menyebut namamu akan menggumamkan cemburu padamu...Dan kan kubiarkan engkau yang tercantik di hatiku. Istri Zulebid terdiam, Matanya basah....Ada sesuatu yang menggenang disana. Seperti tak lepas ia mengingat acara pernikahan tadi pagi,,,dan bayangan suaminya yang baru saja hadir,,,ia menggerakkan bibirnya...suamiku, aku mencintaimu,,, dan dengan semua ketentuan Allah ini bagi kita ....Aku Ikhlas....