This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, 19 June 2011

Umat Pertengahan

“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat wasath agar kalian menjadi saksi atas segenap manusia…” (QS Al-Baqarah: 143)

Wasath dalam ayat ini memiliki beberapa pengertian. Yang pertama adalah pertengahan, lurus di tengah, tidak menyimpang ke kiri atau ke kanan. Dalam hal aqidah, Islam tidak menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk sebagaimana Yahudi, tetapi tidak pula menyifati makhluk dengan sifat ketuhanan sebagaimana Nasrani. Islam menyifati Allah dengan sifat kesempurnaan, menyucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, dan tidak menyerupakan-Nya dengan sesuatupun dari makhluk-Nya. Demikian pula, Islam tidak mengingkari kenabian Isa as dan membunuh para nabi sebagaimana Yahudi, tetapi tidak pula mempertuhankan Isa as sebagaimana Nasrani. Islam mengakui Isa sebagai hamba Allah sekaligus rasul pilihan-Nya, dan mengakui serta memuliakan semua nabi dan rasul yang diutus oleh Allah.


Dalam hal syariat, Yahudi mewajibkan hukum balas (qishash) secara mutlak terhadap setiap bentuk kezhaliman, tanpa ada peluang pemaafan. “Mata dibalas dengan mata, hidung dibalas dengan hidung, telinga dibalas dengan telinga, gigi dibalas dengan gigi, dan setiap luka pun ada qishashnya.” Sedangkan Nasrani sebaliknya memiliki sikap yang terlalu lunak: “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” Adapun Islam adalah syariat pertengahan. Islam memberikan hak untuk membalas (qishash) dengan yang setimpal tetapi pada saat yang sama mengatakan: “Jika kamu memaafkan, maka itu lebih baik bagimu.”

Islam tidak mengingkari kepemilikan individu dan tidak pula melarang sebagian orang lebih kaya daripada yang lainnya, sebagaimana diajarkan komunisme. Namun Islam juga mengecam jika kekayaan hanya berputar-putar diantara segelintir manusia, sehingga yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin (kapitalisme). Syariat Islam berada di pertengahan: mempersilakan seseorang menjadi kaya tetapi juga mewajibkan kepadanya untuk berzakat dan berinfaq karena didalam hartanya ada hak orang-orang yang membutuhkan.

Dalam hal perilaku, Islam tidak memerintahkan kita untuk meninggalkan dunia dan berubah menjadi para rahib, tetapi Islam juga melarang kita diperbudak oleh dunia lalu melalaikan akhirat. Islam mengajarkan keseimbangan: berorientasi akhirat tetapi tidak lupa dunia.

Islam melarang dan tidak menyukai sikap ekstrim. Islam melarang kita berlebih-lebihan dalam agama (ghuluw). Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw mencela tiga orang sahabatnya yang hendak shalat malam semalam suntuk, berpuasa terus-menerus, dan pantang menikah dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Rasulullah saw memberikan jalan tengah dengan mengatakan: “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya, akan tetapi aku berpuasa namun juga berbuka, aku shalat malam namun aku juga tidur, dan aku juga menikahi perempuan. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Orang yang berlebihan dalam agama pasti akan dikalahkan olehnya..” (HR Bukhari dan Nasai dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 1611).

Sebaliknya, Islam juga melarang kita meremehkan, memudah-mudahkan dan menggampangkan agama (tasahul). Menganggap boleh perkara-perkara yang dilarang oleh agama. Mengutak-atik perkara-perkara prinsip yang sudah final dalam agama ini. Dan mencari-cari keringanan tanpa bersandar pada dalil yang kuat. Sebagaimana Islam melarang sikap terlalu keras dalam agama, Islam juga melarang sikap yang terlalu liberal. Bersikaplah yang pertengahan.

Islam tidak membenarkan orang-orang yang berlebihan dalam memaknai jihad. Islam tidak mengajarkan bahwa setiap orang kafir boleh dibunuh. Islam telah meletakkan aturan yang jelas kapan jihad harus dilakukan, syarat-syaratnya, terhadap siapa ditujukan, dan apa saja adab-adabnya. Namun jangan pula kemudian menafikan jihad dan mengatakan bahwa Islam tidak mengenal jihad dan perang, hanya karena ingin dianggap bahwa Islam cinta damai. Negeri ini dulu bisa meraih kemerdekaan juga dengan jihad. Bersikaplah pertengahan. Islam cinta damai, namun Islam juga mengenal jihad, hanya saja jihad itu ada aturan-aturannya, syarat-syaratnya, dan adab-adabnya. Jihad tidak boleh dilakukan dengan serampangan.

Kembali kepada QS Al-Baqarah: 143, wasath dalam ayat tersebut juga bermakna terbaik. Ini sesuai dengan firman dalam QS. Ali Imran : 110: “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” Kini mari kita berkaca, apakah kita sudah merasa menjadi yang terbaik? Ataukah sebaliknya kita masih berada dalam keterbelakangan? Apakah kita layak disebut terbaik sementara kita masih yang terdepan dalam hal korupsi dan inefisiensi?

Wasath dalam QS Al-Baqarah: 143 juga bermakna adil. Dan untuk itulah dalam ayat tersebut dinyatakan: “agar kalian menjadi saksi atas segenap manusia”. Untuk bisa menjadi saksi, diperlukan sifat adil. Allah SWT menghendaki agar umat ini menjadi saksi, penengah, dan “wasit” bagi segenap manusia diatas muka bumi ini, karena Allah tahu bahwa hanya umat ini sajalah yang bisa berlaku adil. Namun kini apa kenyataannya? Alih-alih menjadi saksi, umat ini justru menjadi tersangka, terdakwa, dan bahkan pesakitan. Berbagai propaganda dan stigmatisasi negatif dan tak henti-hentinya dilancarkan kepada Islam dan umat Islam. Apakah kita rela?


Ikadi Jawa timur(http://ikadijatim.org)

Islam Agama Paripurna

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kusempurnakan atas kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu.” (QS : Al Maidah: 3)

Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw adalah penyempurnaan atas agama-agama yang telah dibawa oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Karena telah sempurna, tidak akan ada lagi agama baru. Islam adalah agama terakhir, yang berlaku hingga hari kiamat. Muhammad saw adalah nabi dan rasul terakhir, tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya. Dan dengan kesempurnaannya, Islam ditujukan untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk orang Arab saja.

Nama Islam menurut bahasa memiliki beberapa makna, yang menunjukkan sifat dari agama ini. Makna yang pertama adalah ketundukan. Dengan memeluk Islam, seorang manusia akan tunduk patuh kepada Tuhannya karena merasa bahwa ia hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dihadapan kebesaran dan keagungan-Nya.

Makna yang kedua adalah berserah diri. Dengan memeluk Islam, seorang manusia telah menyerahkan dirinya kepada Allah karena merasa bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa, Dzat Yang Maha Mengatur, dan Dzat Yang Tidak Pernah Tidur. Ia yakin dan percaya bahwa Allah pasti senantiasa memberikan yang terbaik kepada hamba-hamba-Nya.

Makna yang ketiga adalah keselamatan. Islam adalah agama yang akan mengantarkan pemeluknya pada keselamatan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Dan makna yang keempat adalah perdamaian. Ini artinya, Islam adalah agama yang tidak menginginkan terjadinya keonaran, kezhaliman, perusakan, anarki, dan terorisme di muka bumi ini.

Karakteristik Islam

Pertama-tama, agama Islam mempunyai karakteristik rabbaniyah. Maksudnya, ajaran agama Islam seluruhnya bersumber dari Allah dan menjadikan keridhaan-Nya sebagai orientasi puncak. Namun pada saat yang sama, Islam juga memiliki karakteristik insaniyah. Artinya, Islam tidak pernah lepas dari sisi-sisi kemanusiaan manusia. Islam senantiasa selaras dengan fitrah manusia. Demikian pula, ajaran-ajarannya senantiasa membawa kemaslahatan dan kebahagiaan hakiki bagi manusia.

Selanjutnya, Islam adalah agama yang syamil (lengkap): meliputi segala aspek kehidupan manusia. Dalam Islam tidak dikenal adanya pemisahan antara urusan agama dan urusan dunia. Islam mengatur segala hal mulai dari kehidupan pribadi sampai kehidupan sosial, mulai dari masalah-masalah yang kecil dan kelihatan sepele sampai masalah-masalah yang besar.

Islam adalah agama yang berkarakter wasath (pertengahan) dan tawazun (seimbang). Islam menjunjung tinggi keadilan, namun juga mengedepankan kasih sayang. Islam sangat mengedepankan spiritualitas, namun juga menganjurkan manusia untuk memenuhi hak-hak dunianya. Dalam Islam, setiap pemeluknya diharuskan untuk memenuhi hak dari segala sesuatu, sesuai dengan porsinya masing-masing. Islam tidak membenarkan sikap ekstrem, yakni berlebih-lebihan dalam satu hal seraya meninggalkan pemenuhan hak atas hal yang lainnya.

Islam adalah agama yang teguh namun juga lentur. Islam memiliki prinsip-prinsip yang harus dipegang dengan teguh. Prinsip-prinsip ini tidak pernah berubah, kapanpun dan dimanapun. Namun pada saat yang sama, Islam juga memiliki ruang yang luas untuk berkembang, sesuai dengan tuntutan ruang, waktu, situasi dan kondisi. Disinilah Islam sanggup menjadi sebuah sistem hidup yang akan selalu cocok untuk diterapkan kapanpun, dimanapun, dan dalam keadaan yang bagaimanapun.

Beberapa karakteristik diatas menjadikan Islam sebagai agama yang paling unggul. Rasulullah saw bersabda, ”Islam adalah yang tertinggi dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggiannya.” (HR Al-Baihaqi, hasan lighairihi menurut Al-Albani)

Islam dan Umat Islam

”Al-Islamu mahjubun bil muslimin (Agama Islam terhalang oleh umatnya sendiri).” Itulah barangkali ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan Islam dan umat Islam saat ini. Memang benar Islam adalah agama yang sempurna dan paling unggul, namun bagaimana dengan umatnya? Apakah juga demikian?

Banyak sekali ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam yang tidak diterapkan dan diamalkan oleh umatnya sendiri. Bagaimana mungkin negeri kita yang mayoritas muslim menjadi negeri yang penuh dengan korupsi, kolusi, kebodohan, keterbelakangan dan krisis moral, sementara agama Islam jelas-jelas mengharamkan semua hal tersebut? Mengapa justru terkadang pemerintahan yang bersih dan efisien, kedisiplinan, budaya hidup bersih dan sehat, etos kerja yang tinggi, budaya gemar membaca dan belajar justru ada dalam masyarakat non-muslim? Tidak salah barangkali ungkapan yang mengatakan: ”Umat Islam terbelakang karena meninggalkan agamanya, dan umat lain maju karena juga meninggalkan agamanya.”

Karena itu, sekarang ini kita tidak cukup sekadar berbangga bahwa Islam adalah yang tertinggi, namun kita juga harus benar-benar menerapkan Islam dalam kehidupan. Kita hendaknya berusaha untuk menerapkan Islam secara keseluruhan dan tidak setengah-setengah. Kita tidak hanya menjadi muslim yang taat ketika ada didalam masjid, namun kita berusaha untuk menjadi muslim yang taat dimana saja: di rumah, di kantor, di pasar, di jalan, dan dimanapun juga. ”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhan.” (QS Al-Baqarah: 208)


Ikadi Jawa Timur

Islam Kaffah

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhan.” (QS Al-Baqarah: 208)

Ayat ini jelas-jelas memerintahkan kita semua yang mengaku beriman untuk masuk kedalam Islam secara keseluruhan (kaaffah), tidak setengah-setengah.

Islam adalah agama yang sempurna. Hanya saja kesempurnaan Islam ini hanya bisa kita rasakan dalam kehidupan jika kita pun melaksanakannya secara sempurna. Jika kita hanya melaksanakan Islam secara setengah-setengah, separuh-separuh, atau sebagiannya saja, maka kita tidak akan bisa merasakan kesempurnaan Islam itu sendiri. Kita hanya akan bisa merasakan sebagian saja dari kesempurnaan itu. Dan yang lebih penting, kita hanya akan bisa menjadi muslim yang seutuhnya jika kita masuk kedalam Islam secara keseluruhan. Jika kita masuk kedalam Islam secara setengah-setengah, kita pun akan menjadi muslim yang setengah-setengah.

Jika Islam diterapkan secara kaaffah, niscaya akan tercipta harmoni dalam kehidupan karena Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia, dan selaras dengan sunnatullah. Yang demikian ini karena Islam adalah agama yang berasal dari Dzat yang menciptakan manusia, kehidupan, dan alam semesta semuanya.

Islam Perpaduan antara Hukum dan Akhlaq

Islam bukanlah agama yang hanya berisi kumpulan hukum yang kaku. Sebaliknya, Islam sangat mengedepankan kemuliaan akhlaq. Bahkan, Islam memandang hukum dan akhlaq sebagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Buktinya, segala bentuk ibadah dalam Islam pasti memiliki orientasi pembinaan akhlaq. Sholat, misalnya, dilakukan untuk mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar. Zakat ditunaikan untuk menyucikan harta dan jiwa. Puasa dilakukan untuk mengendalikan nafsu dalam jiwa. Haji dilakukan untuk melatih diri berkorban, menjauhi perkataan yang buruk dan menjauhi kebiasaan berbantah-bantahan. Tidak ada satupun bentuk ibadah kecuali bertujuan untuk meraih kesempurnaan akhlaq. Tidak heran jika Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya aku ini diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.”

Islam Perpaduan antara Kemuliaan dan Kasih Sayang

Kemuliaan (‘izzah) pada dasarnya hanyalah milik Allah semata. Hanya saja, Allah kemudian juga memberikan kemuliaan tersebut kepada para rasul-Nya dan orang-orang yang beriman kepada-Nya. Dan kita diperintahkan untuk menjaga kemuliaan kita di hadapan orang-orang yang ingkar kepada-Nya, dengan cara bersikap tegas – bukan keras atau kasar – kepada mereka. Namun pada saat yang sama, Allah memerintahkan kita untuk saling berendah hati dan berkasih sayang terhadap sesama mukmin. Ini tidak berarti bahwa Islam mengajarkan kita untuk tidak mengasihi non muslim. Bahkan sebaliknya, Islam mendeklarasikan diri sebagai rahmatan lil ’alamin. Artinya, Islam adalah rahmat bagi semua manusia, baik muslim mapun non muslim, bahkan bagi binatang, tumbuhan, dan alam semesta seluruhnya.

Islam Perpaduan antara Ilmu dan Amal

Islam memandang bahwa ilmu sangatlah penting, karena ilmu akan mengarahkan kita pada amal yang benar. Amal tanpa didasari dengan ilmu besar kemungkinan akan salah, menyimpang, dan bahkan menimbulkan mudharat dan kerusakan. Karena sedemikian utamanya ilmu itulah, Allah pun mengangkat derajat orang-orang mukmin yang berilmu beberapa derajat. Dan Rasulullah juga mewajibkan umatnya untuk senantiasa menuntut ilmu sepanjang hayat, mulai dari buaian sampai masuk ke liang lahat. Namun ilmu saja tanpa amal sama dengan omong kosong. Islam memandang bahwa ilmu mesti membuahkan amal shalih. Dan kelak pada Hari Pengadilan, Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap orang yang memiliki ilmu. Islam juga membenci orang-orang yang hanya berbicara tetapi tidak mau berbuat. ”Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat. Amatlah besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS Ash-Shaff: 2-3)

Islam Perpaduan antara Kerja dan Harapan

Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja keras, dan mencela orang yang hanya duduk berdoa di masjid agar uang turun dari langit sedangkan ia malas bekerja. Namun Islam juga memerintahkan agar kita selalu berdoa pada saat kita bekerja. Ketika kita berdoa, kita berharap kepada Allah. Kita pun diperintahkan untuk senantiasa optimis ketika berdoa. Inilah Islam yang memerintahkan keseimbangan antara berusaha dan berdoa, antara kerja dan harapan.

Islam Perpaduan antara Dzikir dan Fikir

Di akhir QS Ali ’Imran, Allah mendeskripsikan ulul albab sebagai berikut: “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Demikianlah Islam, yang senantiasa memerintahkan keseimbangan antara dzikir dan fikir, antara hati dan otak, antara imtaq (keimanan dan ketaqwaan) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).

Islam Tidak Memisahkan Antara Negara dan Agama

Islam menyadari bahwa negara dengan berbagai bagiannya – seperti politik, ekonomi, sosial dan budayanya – sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Oleh karena itu, Islam tidak mengenal pemisahan antara negara dan agama. Islam tidak menginginkan negara dipimpin oleh orang-orang yang tidak beragama dan dijalankan ke arah yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya, Islam menginginkan agar negara bisa mengkondisikan warganegaranya untuk taat beragama. Islam bukanlah agama yang hanya dipraktekkan di masjid-masjid saja, namun juga menjadi panduan dalam mewujudkan segenap kemaslahatan umat. Islam bukan hanya melakukan sholat dan dzikir saja, namun juga kepemimpinan yang adil serta pemerintahan yang bersih dan cakap.

**************

Demikianlah kira-kira gambaran kesempurnaan Islam, yang mengatur segala sisi kehidupan manusia dengan begitu indahnya, untuk mengantarkan manusia pada kebahagiaan yang hakiki di dunia dan di akhirat. Dan jika kita ingin merasakan kesempurnaan Islam, tidak ada jalan lain kecuali ber-Islam secara kaaffah, masuk kedalam Islam secara keseluruhan, seluas ajaran Islam itu sendiri.

Ikadi jawa timur

Thursday, 16 June 2011

Integrasi Politik dan Dakwah

Ust. Anis Matta

(Disampaikan di acara BPK DPW DKI Jakarta)

Dulu, saat awal ketika kita belum membuat partai, sebenarnya cukup mengenakkan kalau kita menjadi gerakan dakwah yang terbatas. Berada di
lingkungan yang baik secara terus menerus, cerdas, berpendidikan tinggi, punya komitmen agama yang bagus serta lingkungan yang memberikan
kenyamanan yang luar biasa.

Tapi, waktu kita membuat partai, seakan-akan kita keluar dari comfort zone. Zona nyaman, yaitu lingkungan orang shalih sepertinya terpecah,
karena mulai dimasuki oleh orang-orang yang setengah shalih dan tidak shalih. Ruang lingkup pergaulan kita menjadi sangat luas. Sekarang kita
bertemu dengan keadaan yang mungkin tidak nyaman secara psikologis.

Politik ini memberikan kita jadwal hidup yang sangat ketat karena ada pemilu 5 tahunan. Kita selalu mengukur kinerja setiap waktu karena ada
banyak momentum. Kalau bukan kita yang mengukur kinerja kita maka orang lain yang mengukur kinerja kita. Sejak kita memutuskan untuk membuat partai, berarti kita membuka diri kita untuk diukur juga oleh orang lain. Dan itu membuat jadwal aktivitas kita menjadi sangat padat.
Sehingga kita harus belajar untuk bekerja dengan rileks dalam keadaan stress berkepanjangan. Itu salah satu pelajaran penting yang kita peroleh secara tarbawiyah setelah kita membuat partai.

Sebenarnya ada pelajaran lain, bahwa ktia harus bisa belajar berbeda pendapat secara rileks juga. Banyak pendapat, banyak ketegangan, tapi
kita harus mampu menghadapinya secara rileks.

Ikhwah sekalian.

Saya ingin menyampaikan beberapa hal untuk membangun frame kita, khususnya terkait kerja-kerja tarbiyah dalam kontek amal siyasi. Sejak harakah ini didirikan , konsep awal tentang kehidupan yang ingin kita bangun adalah sebuah kehidupan islami yang integral dan komprehensif, dengan tidak membuat pemisahan-2 antara seluruh aspeknya. Oleh karena itu , sejak awal konsep integrasi ini menyebabkan harakah ini selalu berhadapan dengan sekulerisme yang memisahkan antara politik, negara dan agama.

Kita tahu dengan baik jargon yang dibuat Imam Hasan Al-banna, bahwa islam adalah dinun wa daulah (agama dan negara) sekaligus. Jadi kita menganut konsep integrasi dari awal. Tetapi konsep integrasi ini bukan hanya ada pada integrasi antara negara dan agama saja, namun juga antara
dakwah dan politik. Itu sebabnya 10 tahun setelah Imam Hasan Al-Banna mendirikan jamaah dakwahnya, beliau langsung mendeklarasikan untuk memasuki era jahriiyah (era keterbukaan) dan ikut terlibat dalam aktivitas politik.

Sekarang tidak ada jalan bagi kita untuk menyatukan agam dan negara kecuali apabila kita mengambil bagian dalam aktivitas politik itu. Dan, sekarang ini, dalam sistem demokrasi, jalur orang untuk sampai kepada seluruh otoritas penting dalam negara hampir menjadi jalur tunggal, yaitu lewat partai politik.

Oleh karena itu, sekarang orang baru menyadari betapa besarnya peranan partai politik dalam menentukan arah kehidupan kita. Orang tidak boleh
jadi gubernur kecuali kalau di dapat mandat dari partai politik. Memang ada pemilihan langsung, tetapi yang mendaftarkan harus partai. Kemudian
memang ada calon independen, tetapi aturannya belum selesai, dan tidak benar-benar independen.

Oleh karena itu, untuk memperbesar akses harakah ke dalam negara itu jalannya cuma satu, yaitu memperbesar partai politiknya atau kendaraannya, atau kanalnya, yaitu partai politik. Apabila kanalnya besar, flow, arus yang akan masuk ke negara juga semakin besar.

Mengapa dulu birokrasi dikuasai Golkar? Ya, karena flow yang dibuatnya memang kanalnya besar. Bila kita mau masuk kesana, mesti membuat kanal
besar bagi dakwah. Mengapa selama ini harakah terpinggirkan di banyak negara? Karena tidak ada kanalnya. Oleh karena itu, saya mengatakan
bahwa lompatan pertama kita pada tahun 1999 adalah lompatan dari luar ke dalam.

Dulu kita dianggap OTB (organisasi tanpa bentuk). Antum bayangkan, orang-orang shalih yang terpilih diantara umat ini, kita memilih orang-orang shalih setengah mati, kita merekrut mereka dengan kriteria anasir taghyir (memiliki unsur perubah), kita pilih orang-orang hebat semuanya ditengah masyarakat dan kita masih dianggap sebagai orang aneh. Begitu kita membuat partai, kita melompat dari luar sistem ke dalam sistem dan itu memberikan kita banyak keleluasaan baru.

Begitu suara kita menguat pada tahun 2004, saya menyebut lompatan kedua ini sebagai lompatan eksistensi. Kita dianggap sebagai satu kekuatan
politik baru yang sangat disegani di negeri kita saat ini, karena kanal yang kita ciptakan ini makin besar. Sehingga arus orang yang masuk ke
otoritas negara itu makin banyak.

Misalnya kita lihat pada tahun 1999, akhwat kita yang ada di parlemen kita cuma satu orang, tetapi sekarang ini ada 72 orang. Artinya, di
jamaah dakwah kikta ada 72 suami yang istrinya bekerja di parlemen dan setiap hari para suami itu ditinggal istrinya. Kalau dulu kita
meninggalkan istri sekarang kita mulai ditinggalkan istri. Quota 30% masih akan terus berlaku. Tahun 2009 nanti jumlah akhwat yang masuk ke parlemen kita akan makin banyak. Lalu, kita punya 1 menteri, menteri ini membawa gerbong, bukan hanya gerbong birokrat tetapi juga gerbong
pengusaha.

Coba antum lihat, betapa banyak yang berubah begitu kanal ini membesar. Karena antum punya otoritas mencalonkan orang sebagai gubernur, maka
orang mau bayar antum semua, supaya dia jadi gubernur. Oleh karen itu, ada banyak bisnis di dalamnya, seperti aktifitas tarbiyah hari ini,
sudah mulai dikelola dengan cara bisnis. Ini sudah benar jalannya. Itu merupakan efek kanal yang kita ciptakan makin besar dan mempunyai efek
dalam menciptakan lapangan kerja baru.

Level integrai ketiga yang perlu kita waspadai karena kita belum mengenal dengan baik tabiatnya adalah integrasi aktivitas tarbawi dan
aktifitas siyasi. Ini mungkin pengaruh dari dikotomi yang sebelumnya terjadi. Padahal, dua tahun terakhir ini, ada lebih dari 200 pilkada
yang berlangsung. Itu berarti hampir per tiga hari ada satu pilkada.

Kebanyakan orang mengeluh pada dua tahun ini, bahwa pertumbuhan kader kita menjadi lambat. Bahkan, di DPP, ketika sekretariat melaporkan
pertumbuhan kader tahun lalu minus, Presiden PKS keberatan,”Kok bisa minus? Ini gak mungkin.” Padahal itu laporan dari Wilayah. Kemudian
Bidang Kaderisasi membuat evaluasi lagi di beberapa Wilayah, lalu ada pertambahan sedikit.

Setelah kita lihat, ternyata salah sebabnya adalah kebingungan mengintegrasikan pekerjaan, karena terlalu banyak pekerjaan sekaligus.
Pekerjaan ini belum dikelola dengan suatu pendekatan integrasi. Sebagai contoh, kalau orang luar melihat PKS, orang akan melihat PKS ini partai
baru, dana kecil, tapi aktivitas partainya besar. Loadnya luar biasa penuh, tidak ada kosongnya.

Semua teman-teman diluar PKS kalau bertemu saya, selalu bertanya satu hal,”Bagaimana keuangan PKS? Saya kemana mana ke daerah bertemu dengan PKS, dimana mana ada PKS. Jalan terus, begitu kerjanya tidak berhenti-berhenti. ” Ini adalah load pekerjaan yang luar biasa besarnya.

Integrasi ini terkait masalah efektifitas dan efisiensi dalam melakukan pekerjaan besar dengan usaha yang seminimal mungkin. Sebagai contoh, ada banyak aktifitas kita di internal ini sebenarnya menggunakan sangat banyak orang, sangat banyak waktu, banyak dana, juga menyentuh sangat
banyak publik. Kemudian hal ini sama sekali tidak mendapatkan liputan apa apa di media. Akan tetapi, bila dari awal kita punya pandangan yang terintegrasi maka itu akan sangat berbeda.

Contoh lain seperti aktifitas mukhayam (kemah). Antum lihat, berapa banyak tenaga yang kita keluarkan untuk aktifitas yang kita kerjakan?
Harinya panjang, jumlah pesertanya banyak, kalau dikelola dalam satu kemasan, efek pelatihan tarbawi yang diharapkan dari mukhayam itu tetap
dapat diperoleh dengan tetap mendapatkan liputan media yang luas. Tetapi ini belum kita kelola.

Kemarin coba antum bayangkan waktu kita mengubahnya di Cibubur. Berapa banyak pekerjaan yang dapat diselesaikan sekaligus? Karena kita mulai mengintegrasikan. Jangan sampai nanti orang media hanya bekerja mengiklankan PKS kalau ada Muharram, kalau ada Milad atau kalau ada
Ramadhan saja, baru itu yang dinamakan aktifitas media, sedangkan aktifitas tarbawi tidak ada liputannya. Padahal sebenarnya ini justru
aktifitas yang punya nilai jual yang luar biasa bagi orang-orang luar.

Antum lihat, orang-orang yang berminat terhadap petualangan itu kan banyak. Sekarang acara petualangan di tv itu laris dan ratingnya tinggi.
Kenapa pada sisi ini sebagai partai orang muda, tidak kita jadikan kekuatan. Pesona PKS yang bisa punya daya gugah dan daya rekrut bagi
orang luar, bahwa partai ini mencanangkan suatu pola hidup yang sehat dan ingin membangun generasi muda yang kuat. Hanya dengan mengubah
sedikit cara melakukannya untuk membuat suatu happening art yang bagus, membuat suatu release yang bagus, sedikit packaging yang bagus, maka
semuanya akan berbeda hasilnya.

Antum tidak akan kehilangan sedikitpun efek tarbawiyah yang ingin kita capai apabila kita mampu mengintegrasikannya . Menurut saya, level
integrasi ketiga ini perlu dipelajari. Pilkada ini adalah salah medan uji cobanya. Waktu kita merancang strategi di DPW untuk pemenangan
Pilkada ini, dari awal saya menekankan : “Masukkan satu poin di grand strategy di DPW untuk pemenangan pilkada ini, bahwa syarat untuk memenangkan DKI Jakarta adalah dengan meningkatkan kapasitas, kinerja dan citra PKS, sebagai partai utama.”

Makin besar partai ini, makin mudah kita menyosialisasi calonnya. Kita bisa menggaransi bahwa sebab kemenangannya 70% lebih adalah oleh
jaringan ini. Oleh karena itu, jaringan ini perlu diperbesar strukturnya maupun jumlah kadernya. Implikasinya apa? Semua target kaderisasi
masukkan di target pilkada.

Jadi untuk memenangkan pilkada ini, kitta memerlukan 162 ribu kader baru untuk mencukupi angka total 200.000 kader di DKI dan dengan demikian
jika target kita adalah 2 juta suara, maka satu kader harus merekrut sepuluh suara. Insya Allah hal ini efektif untuk mencapai target itu.
Implikasi selanjutnya pada budgeting.

Antum lihat flow kegiatan itu akan lebih lancar ketika dia diintegrasikan. Sehingga manajemennya menjadi lebih sederhana, jauh lebih efektif dan efisien. Selain itu, dengan integrasi ini ada efek lanjutan, yaitu memperbesar aset kita dan kemampuan kapitalisasi kita.

Antum lihat suara partai-partai islam di Indonesia sepanjang sejarahnya tidak pernah lebih dari 45%. Artinya apa? Artinya afiliasi ideologi
orang-orang islam indonesia masih ke ideologi sekuler.

Ini artinya semua gerakan dakwah yang pernah ada di Indonesia, ternyata tidak berhasil, padahal ormas-ormas dakwah seperti Muhammadiyah, NU jauh lebih tua dari Republik Indonesia ini. Apa yang menjelaskan PAN yang lahir dari Muhammadiyah Cuma dapat segitu suara? Apa yang menjelaskan
PKB yang lahir dari NU Cuma dapat segitu suara? Bahkan kalau digabung misalnya dengan PPP tetap saja sedikit jumlah suaranya.

Artinya gerakan dakwah ini dari awal menganut pemisahan antara dakwah dan politik. akibatnya dia tidak bisa mengkapitalisasi aset-asetnya.
Bahkan sekarang kita lihat ada pendekatan yang intensif dari PDIP ke Muhammadiyah, dan dari Muhammadiyah ke PDIP.

Kendala harakah islamiyah dalam upaya menjadi partai besar , salah satunya adalah ketidakmampuan mengintegrasikan program-programnya.
Sehingga selalu ada dua arus dalam jamaah dakwah, yaitu arus orang-orang tarbawi dan arus orang-orang politik. itu tidak bagus, tidak sehat, dan tidak benar-benar manhaj. Orang-orang tarbawi mengatakan,” Sudahlah, aktifitas kita sekarang sudah terlalu banyak politik. orang-orang sudah tidak memperhatikan lagi tarbiyah.”

Jadi seharusnya kita tidak pernah menganut pemisahan seperti itu. Attarbiyun, ‘assiyasiyun. Itu semua satu pekerjaan. Semua namanya
dakwah. Semua pekerjaan ini sama untuk membangun aset kekuatan umat. Dengan mentarbiyah, kita membangun aset orang, dengan politik kita
membangun aset kekuasaan. Hal ini tidak ada yang perlu dipisah-pisahkan lagi. Tetapi di banyak negara, penyakit ini bisa membesar, seperti di
negeri kita juga. Kalau tidak segera merubahnya maka orang-orang tarbiyah akan merasa lebih nyaman, merasa hidup lebih tenang, lebih
khusyuk dan sedikit merasa lebih religius dan lebih ikhlas dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang terlalu aktif di politik. kini ada satu
gejala yang buruk dan tidak sehat dalam tarbiyah. Penting bagi kita untuk mengamatinya. Ada orang-orang yang merasa gagal di alam kenyataan, kemudian lari ke alam spiritual yang sedikit rada maya.

Dalam soal dana, misalnya, banyak orang mengatakan, “Sudahlah kita ini orang di DPR gak usah dibebankan cari dana untuk dakwah. Kita akan
melaksanakan tugas dan tinggal kontrol kita saja.” Bisa jadi bukan karena ingin lempeng saja, Cuma mereka tidak mampu cari dana, tetapi
kemudian mengcover ketidakmampuan dengan berbagai alasan. Orang-orang ini seolah-olah ingin mengatakan, bahwa jumlah barang halal jauh lebih sedikit dari jumlah barang yang haram. Logikanya adalah “Kalau yang halal itu lebih sedikit dari yang haram, terus kenapa islam menyuruh
kita kaya?”

Sebenarnya dia tidak ingin mengatakan itu. Tapi karena beberapa alasan. Pertama : dia tidak memahami manhaj dengan baik. Kedua : ada sesuatu
yang disembunyikan di hati, yaitu ketidakmampuannnya. Ini juga gejala tarbawi yang tidak sehat.

Dalam soal aktifitas tarbiyah, ada juga gejala tidak sehat dari orang-orang yang tidak punya basis tarbawi yang bagus ketika kemudian
terjun ke politik. ini harus diakui. Atas nama kesibukan di DPR dan DPRD dan seterusnya, akhirnya dia banyak ghaib di liqo’ pertemuan rutin
kader, tidak lagi mentarbiyah, akhirnya secara ruhiyah dia kering dan semuanya kering. Hal itu kadang sebenarnya bukan karena aktifitas
politik. sebelum terlibat di dalam politik pun orang-orang seperti ini sudah kering.

Ini rada rada mirip dengan perkataan Ali bin Abi Thalib saat pasukan Muawiyah dalam perang Shiffin mengangkat mushaf mengajak perdamaian.
Susah ditolak. Orang mau damai pakai Al-quran susah ditolak, meski ada niat lain dibaliknya. Ali memahami dengan baik niat itu. Maka ia
mengatakan,” Ini adalah kata yang benar tapi tujuannya adalah kebatilan.” Jadi kita mengungkap sesuatu yang terlihat nyata, tapi sebenarnya tidak.

Kemarin Syaikh Qardhawi berdoa di Masjid Istiqlal. Ada satu isi doanya, saya baru dengar itu dan memberikan saya inspirasi. Beliau
mengatakan,” Ya Allah hindarkan ibadah-ibadah kami dari riya, hindarkan hidup kami adri tanaqudh (paradoks).” Hidup yang paradoks itu karena
hal-hal begini. Seperti kita menyembunyikan sesuatu dalam hati kita, dan kita cover dengan bungkus-bungkus yang katanya manhaji.
Pemahaman ini diperlukan oleh para manajer-manajer tarbiyah ini, agar dapat mengelola dengan baik aktifitas ini, supaya tidak ada lagi
pemisahan.
Kalau antum lihat rutbah tarbawiyah (level keanggotaan) kita, level paling bawah adalah pemula (tamhidi), diatasnya ada muayyid. Piramidanya
selalu mengecil, semakin keatas itu semakin mengecil. Jadi biasanya rasionya 1/5 atau kalau tidak 1/10. dua level paling bawah ini kita
sebut sebagai kader pendukung. Sedang kader inti ada pada 4 level keatas.

Saya ingin antum memahami falsafah manhaji pada sistem keanggotaan dalam perspektif strategy pergerakan. Anggota Madya (muntasib) konsepnya adalah orang-orang yang sudah memahami dakwah ini dengan baik, memahami islam dengan baik, berperilaku islami dan sudah terlibat dalam sebagian besar aktifitas dakwah ini dengan baik. Intisab artinya tergabung, dia mengetahui sudah bergerak dan tergabung di dalam jamaah dakwah ini.
Kemudian satu tingkat di atasnya Anggota Dewasa (muntanzhim) , yang terjemahannya artinya terstruktur. Dia bkan sekadar berada atau tidaknya
di mihwar dakwah, tapi dia sudah menjadi operator utama mihwar. Satu tingkat lagi adalah anggota ahli, lalu purna (takhassus).

Kira-kira kalau dalam hirarki militer itu ada yang takhassus ini namanya komandan, yang anggota ahli (amilin) ini namanya pasukan khusus.
Kemudian yang muntanzhim itu pasukan strategisnya, yang muayyid ke bawah yang prajuritnya. Maka lapisan terkecil dari ummat adalah takhassus.
Lapisan terluranya ada muhibbin, ada ummat dan terakhir lapisan terluarnya adalah al qaum. Semakin antun di tengah maka semakin antum
ada di titik pusat yang menentukan arah pergerakan umat.

Antum yang sudah jadi amilin sudah berada di titik pusat. Jadi dengan konsep ini, antum bisa mengetahui bahwa sebagian besar beban ini dipikul
oleh orang yang makin ke dalam. Karena beban yang akan kita pikul semakin berat, maka syarat janji setianya juga semakin berat. Bukan pada
kompetensi, tapi pada derajat atau bobot kesetiannya, karena amanah umat yang berat ini hanya orang-orang yang benar-benar setialah yang bisa
memikul beba ini. Ini adalah konsep pertama.

Konsep yang kedua, Jamaah Dakwah ini dibangun dengan 4 basis, yaitu :

1. Qaidah harakiyah (basis pergerakan), maksudnya mereka inilah yang mengoperasikan gerakan dakwah ini.
2. Qaidah fikriyah (basis pemikiran ), terdiri dari para pemikir, para perancang, para ulama dan para intelektual.
3. Qaidah siyasiyah (basis politik), terdiri pada pimpinan-pimpinan (qiyadah) pengambil keputusan dan penentu kebijakan.
4. Qaidah sya’biyah (basis massa).

Jadi kader kita ini, semuanya ada di kategori Qaidah harakiyah, Qaidah Fikriyah dan Siyasiyah. Karena itu lapisan terbawah dari dakwah adalah
umat. Dari umat ini kita merekrut orang terbaik untuk naik ke Qaidah Harakiyah, dari Qaidah Harakiyah ini kita rekrut lagi yang terbaik dan
naik ke Qaidah fikriyah. Kemudian dari qaidah fikriyah kita rekrut lagi yang terbaik untuk naik ke Qaidah Siyasiyah. Hal yang membedakan mereka
dalam level kepemimpinan biasanya adalah dalam soal wawasan.

Dari mana kita merekrut ini semuanya? Kalau kader harakiyah itu adalah kader dengan enma ruthbah tarbawiyah itu tadi, maka tentu saja Qaidah
Fikriyah dan Qaidah Siyasiyah ini diambilnya dari enam level tadi. Tentu saja Qaidah Fikriyah and Qaidah Siyasiyah itu paling mungkin diambil
dari orang yang ruthbahnya paling atas dan itu yang paling mungkin. Makanya ketua DPD sebaiknya kader inti, karena sudah dalam level Qaidah
Siyasiyah.

Ikhwah sekalian.

Kalau piramida keanggotaan kita ini tidak terisi dengan bagus, maka nanti sumber daya rekrutmen kita untuk mengirim basis-basis kepemimpinan
kita dalam umat ini tidak akan terpenhi. Tujuan kita untuk menjadi Qiyadatul ummah (pemimpin umat) ini tidak akan tercapai. Karena stoknya
tidak tersedia. Apabila stoknya tidak tersedia maka akan ada suatu ancaman. Yaitu, kalau kita mencapai keberhasilan poltik, misalnya,
tetapi tidak ada stok maka kita terpaksa melakukan transaksi dengan orang lain. Karena ada stok kompetensi yang tidak kita miliki tapi
dimiliki orang lain. Itu membahayakan kemampuan kontrol kita.

Jadi seandainya nanti kita dapat 20% dan karena itu kita mempunyai hak untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, misalnya, dan setelah itu
kita menang, bagaimana kita mengatur negara ini?

Kalau hierarki ini tidak terpenuhi, maka dampaknya akan terjadi ketika kita mencapai lompatan-lompatan politik. kalau tidak sejalan
pertumbuhannya, maka akan menyebabkan bahaya yang besar. Itu baru tentang kontrol atas pemerintahan. Kalau kita bicara tentang kontrol
atas umat, seandainya kita mempunyai otoritas, tapi umat kita pada dasarnya belum terdakwahi dengan baik, ini juga bahaya. Dalam strategi
dakwah, kalau masuk ke alam demokrasi, begitu kita naik dan berkuasa, kita tidak mungkin langsung mengatakan,” Kita mau menerapkan sistem
Islam. Tidak begitu prosedurnya. Tetapi kita harus mengikuti prosedur demokrasi. Harus ada tuntutan dari rakyat. Kalau rakyatnya tidak
menuntut, bahkan menentang, maka kita tidak bisa mengetuk palu.

Itulah yang terjadi pada waktu Muhammad Natsir menjabat sebagai Perdana Menteri. Dia tidak bisa berbuat apa apa , karena umatnya belum siap.
Oleh karena itu, penentuan target jumlah kader itu sebenarnya berangkat dari rasio pengendalian kita atas umat. Itulah sebabnya, kenapa jumlah
kader kita harus banyak, karena jumlah penduduk umat kita di indonesia juga besar.

Berapa besar dari umat ini yang dapat dikendalikan oleh 2 juta kader? Berapa rasio pengedalian kader per umat. Misalnya Cuma 20%. Satu kader
20, misalnya. Maka kalau kita punya 2 juta suara, ternyata yang bisa kita kendalikan Cuma 40 juta umat. Itu angka yang bagus tapi tidak cukup
untuk mengcover seluruh masyarakat di negara yang sangat luas seperti Indonesia ini.

Yang namanya masyarakat islami dalam pengertian yang kuantitatif, adalah apabila jumlah orang shalihnya mencapai 50 plus 1% lebih banyak, jika
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak shalih.
Ukuran kesalehan itu setidak-tidaknya ada 3, yaitu :

1. Memiliki afiliasi ideologi, karena itu adalah hakekat dari aqidah
2. melaksanakan semua fardhu ‘ain, khususnya Rukun Islam.
3. Meninggalkan semua dosa-dosa besar, khususnya yang bersifat pidana.

Kalau dosa menengah dan kecil itu susah. Termasuk juga untuk kader inti. Karena itu ada mekanisme pengampunan rutin untuk dosa berjalan. Seperti melalui wudhu, berjalan ke mesjid, shalat berjamaah dan lain lain. Supaya – istilah orang akuntansi – neracanya seimbang.

Jadi, sekali lagi, ini menyangkut masalah mengendalikan keshalihan umat. Itulah fungsinya jumlah kader. Oleh sebab itu mengapa kader mesti kita
angkat kualitas hidupnya jauh lebih tinggi daripada umat, karena hanya dengan itu dia mampu mengendalikan umat. Karena dengan itu dia bisa jadi
Qiyadah di tempatnya masing-masing.

Ada faktor ketiga dari rasio ini selain pengendalian negara dan pengendalian umat, yaitu apabila kita menghadapi keadaan paling buruk.
Ada satu fakta yaitu begitu kita berkuasa, ternyata kita tidak bisa bermimpi untuk langsung melakukan dan membangun ekonomi, mensejahterakan
rakyat dan seterusnya. Begitu kita berkuasa, antum akan menemui apa yang ditemui oleh saudara kita Nurmahmudi Ismail di Depok. Digoyang terus
oleh orang.

Dalam perjalanan Rasulullah, fase pertama dari Madinah adalah marhalah(fase) meneguhkan eksistensi negara. Itu sebabnya dalam rangka
menegakkan eksistensi, negara itu digoyang dari semua arah sebanyak 48 kali pertempuran dalam 5 tahun pertama. Itu sebabnya saya menemukan
fakta-fakta bahwa pembangunan ekonomi saat itu tidak ada. Saat itu, Madinah adalah satu-satunya negara yang tidak punya bendahara. Tidak ada
kas Negara di zaman Rasulullah. Tidak ada menteri keuangan bahkan tidak ada budget. Bahkan ketika kaum muslimin yang lelah berperang dan tidak
sempat mengurusi bisnisnya serta lahan pertaniannya, mereka baru mulai berpikir, “Kapan ya kita rehat dari pertempuran ini?”.

Saya menemukan hadist-hadist lain, waktu fatimah binti Muhammad melahirkan Hasan, cucu pertama Rasulullah, Ali bin Abi Thallib
memberikannyanama Harb (perang). Itu kata yang disenangi dan macho. Tapi kata Rasulullah,” Jangan itu namanya, karena tidak bagus, ganti dengan
Hasan.” Rasulullah memberi nama yang lembut. Artinya apa? Menurut Syaikh Qardhawi, kosa kata perang itu adalah kosa kata yang paling tidak
disenangi dalam islam. Tidak ada orang yang senang dengan kata itu.

Kita sebenarnya tidak menginginkan peperangan. Tetapi kadang itu adalah keniscayaan dalam hidup yang dipaksakan kepada kita dan kita harus
menghadapinya. Itu sudah pertarungan hidup yang diciptakan oleh Allah SWT antara al-haq dan al-bathil.

Itu berarti begitu kita mengurus Negara, antum jangan bayangkan bahwa kita sudah melakukan program pemberdayaan kaum miskin, mengurangi
pengangguran, membuka lapangan kerja dan kita undang investor dari luar, tidak begitu caranya menjalankan Negara. Sama sekali tidak !

Bayangkanlah semua yang paling buruk dari yang pernah kita bayangkan. Berusahalah berpikir ada yang lebih buruk dari yang kita bayangkan. Oleh
karena itu, pada saat kita menghadapi hal-hal yang seperti itu nanti, kita tidak hanya mengandalkan semua institusi Negara, walaupun kita
mempunyai otoritas besar dalam Negara. Bagaimana kalau terjadi invasi? Saya bertemu dengan pejabat-pejabat tinggi TNI,”Pak, kalau kita diinvasi
oleh Amerika seperti Irak,berapa lama bias bertahan?” Dia bilang,”Insya Allah tidak akan lebih dari dua hari seluruh kota di Indonesia akan
dikuasai. Setelah itu kita akan masuk ke hutan dan baru memulai perang gerilya.”

Jadi jika terjadi hal-hal seperti itu, siapa yang antum andalkan? Kader. Tidak ada lagi yang lain. Itulah alasannya dalam setiap level
keanggotaan (ruthbah tanzimiyah) bukan kompetensi yang diuji, tapi derajat kesetiaan, karena sebenarnya ujiannya ada disitu.

Maka kita memahami dengan baik, begitu aktivitas tarbawiyah di dalam melemah, itu artinya kekuatan strategis akan hancur dengan sendirinya.
Artinya kita mengeropos walaupun secara politik mungkin saja kita membesar.

Kalau antum memahamai kata kunci pengendalian terhadap Negara, terhadap umat, dan terhadap keseluruhan teritori saat kita menghadapi bahaya,
antum akan mulai mengerti mengapa kaderisasi adalah kata kunci bagi pertumbuhan dan kemajuan umat, karena antum sebagai pemimpin (qiyadah)
yang ada pada lapisan terdalamnya.

Antum adalah saripatinya bangsa atau kaum ini. Kalau terjadi pelemahan disini maka lapisan-lapisan luar tidak bisa kita kendalikan. Baik dalam
kategori pengendalian terhadap Negara, pengendalian terhadap kualitas umat, maupun terhadap fungsi pertahanan strategis kalau-kalau kita
menghadapi bahaya.

Ikhwah sekalian,

Selanjutnya, poin terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, masalah pandangan futuristic ke depan. Berdasarkan hasil analisa situasi politik
sekarang, saya merumuskan bahwa di masa yang akan datang, partai-partai yang bisa bertahan adalah yang memiliki beberapa karakter, diantaranya :

PARTAI YANG MENGGABUNGKAN DEMOKRASI INTERNAL, SOLIDITAS DAN MILITANSI

Jika Cuma ada demokrasi internal tapi tidak ada militansidan soliditas, ini bahaya. Karena demokrasi akan mengalami suatu proses materialisasi. Orang menjadi sangat materialistis. Saya mempunya satu asumsi bahwa semua partai besar di masa yang akan datang, akan mengalami penurunan
perolehan suara karena berkurangnya soliditas internal mereka. Tetapi PKS juga punya ancaman tidak akan bertumbuh besar lagi kalau
soliditasnya sudah mulai tidak terjaga.

Soliditas internal kita ditentukan terutama oleh kematangan tarbawi kita semuanya. Jika kadar kematangan tarbawi itu rendah, itu menyebabkan kita mudah mengalami gempuran dari luar dan tiba-tiba akan mengakibatkan tidak solid. Misalnya, kalau kita tidak matang secara tarbawi, maka
prinsip-prinsip tabayyun itu bisa hilang dan itu bisa merusak serta mengurangi tsiqah sesama kita.

Untuk menjaga soliditas, kata kunci yang penting di jama’ah dakwah ini adalah jalur tarbawi. Jadi kalau level nuqaba saja sudah tidak ada
kesolidan, maka ada ancaman jangka panjang bagi jama’ah dakwah ini. Itu sangat berbahaya. Karena itu harus ada early warning system di internal
jama’ah dakwah ini tentang masalah kematangan tarbawi. Kaderisasi membutuhkan maufakkir tarbawi (pemikir tarbiyah). Kita harus mempunyai
tiga level kualitas kader secara tarbawi. Ada yang levelnya adalah mufakkir (pemikir) tarbawi, ada yang levelnya ‘idari (manajer) tarbawi
dan ada juga yang levelnya murabbi.

Antum semua yang ada disini seharusnya mempunyai ketiga kompetensi tersebut sekaligus, karena hanya dengan begitu antum bisa menjamin
adanya peningkatan kedewasaan tarbawi antum. Salah satu alat ukur kedewasaan tarbiyah, kalau antum mau lihat, adalah mutu gossipnya dan
jenis-jenis konflik yang sering terjadi antara ikhwah.

Antum lihat perhatian-perhatian nya. Concernya pada masalah kecil atau besar. Antum lihat lagi usar, apa perhatiannya? Yang mereka bicarakan
diluar agenda resmi itu apa saja? Kalau yang mereka persoalkan itu adalah persoalan-persoalan kecil, antum bisa membayangkan, orang yang
berada di lapisan terdalam di umat ini berarti pikiran-pikirannya kecil, concernnya yang kecil-kecil. Masalahnya bukan masalah-masalah yang
strategis. Padahal, seharusnya level obrolan antum adalah level obrolan-obrolan yang strategis.

Usar-usar ‘amilin dan nuqaba, harus berpikir di level-level strategis tersebut. Karena mereka sekaligus mufakkir tarbawi,’idari dan murabbi.
Pada tiga kualitas ini lihat kedewasaannya, dengan melihat concernya. Saya melihat masih banyak sekali kader inti di level sangat inti ini,
obrolan-obrolannya itu masalah kecil semuanya. Kalau antum semuanya para qiyadatul ummah itu membicarakan masalah-masalah kecil, terus yang akan membicarakan masalah-masalah besar siapa?

Level of problem itu menentukan kualitas hidup orang. Jenis masalah yang antum hadapi itu, tidak akan keluar dari lingkaran kepribadian antum.
Kalau antum temperamental, antum pasti punya masalah dalam soal komunikasi dan hubungan dengan orang. Kalau antum lemah dan malas, antum
punya masalah dengan produktivitas. Kalau terlalu agresiv, antum biasanya punya persoalan dengan kerjasama dan amal jama’i. jadi, level
of problem menentukan kualitas orang.

Antum lihat lagi, konflik-konflik yang terjadi di internal kita, layakkan hal-hal itu menjadi penyebab konflik? Semua itu menentukan
ukuran-ukuran kematangan tarbawi. Ada orang yang misalnya karena belum mendapatkan sosialisasi, terus mutung, “Ya sudah terserah saja, deh”.
Itu tidak bagus. Mutu konflik kita kadang tidak menunjukkan bahwa kita berkelas. Begitu juga dengan cara kita mengelola konflik, seringkali
tidak juga menunjukkan cara yang berkelas, punya tradisi ilmiah, punya tradisi syura’ dan seterunya. Inilah kronik-kronik permasalahan yang kita hadapi dalam proses pendewasaan.

Proses pembesaran PKS terutama disebabkan oleh menurunnya perolehan suara-suara partai-partai besar dan meningkatnya perolehan suara kita
yang disebabkan Karen meninggkatnya kepercayaan kepada institusi. Harus kita lihat dari awal, bahwa kita mengedepankan institusi dan bukan pada
tokoh. Jadi kalau kita sudah tidak punya tokoh, kemudian institusi kita rapuh, maka yang akan dipilih orang dari PKS ini apa? Tidak ada lagi.

Masalah-masalah yang akan dihadapi Indonesia di masa-masa yang akan datang sebagian besarnya masalah-masalah global. Rakyat Indonesia , akan
menghadapi suatu fakta persoalan nasional yang tidak bisa diselesaikan dengan pertimbangan internasional, dalam konteks globalisasi. Begitu PKS
berada di puncak kepemimpinan nasional, misalnya, persoalan-persoalan efek globalisasi ini akan jauh semakin besar. Maka, tidak ada partai
yang bisa bertahan kecuali partai yang memiliki visi dan misi peradaban.

Maka, implikasinya, parpol merupakan sumber daya utama kepemimpinan nasional. Dan, bahwa pemimpin harakah yang akan kita migrasikan untuk
menjadi pemimpin Negara harus yang mempunyai kapasitas qiyadah hadhariyah (pemimpin peradaban).

Pemimpin Negara yang kita harus kita persiapkan adalah pemimpin yang kosmopolit. Tsaqafahnya, pergaulannya, semuanya punya cirri kosmopolit.
Implikasi internalnya adalah proses tarbawiyah kita harus semakin terintegrasi.

Kader baru yang kita lahirkan di kemudian hari harus merupakan kader yang memiliki wawasan ini. Sehingga dari tahun ke tahun, orang-orang
yang kita cemplungkan ke dalam ke kepemimpinan di lembaga-lembaga Negara ini menjadi icon-icon peradaban yang bagus. Mulai sekarang harus ada
pematangan terus menerus dari segi wawasan.

Syaikh Qardhawi dalam banyak taujihnya ketika di Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia itu mempunyai semua asset untuk menjadi sebuah peradaban
besar di kemudian hari. Itu berarti yang paling bertanggunjawab untuk mengubah Indonesia menjadi icon peradaban dunia adalah PKS, karena kita
adalah saripatinya bangsa ini. Ini adalah konsep perjuangan kita.

Wallahu a’lam bishshawab.

http://cyberdakwah.net/2009/03/integrasi-politik-dan-dakwah/

‘ CINDERAMATA ‘ DARI HTI UNTUK PKS

Mencermati sikap dakwah HTI terhadap PKS memang cukup menarik. Bukan karena adanya musyarokah diantara keduanya, namun menjadi menarik karena opini yang keluar dari DPP HTI hampir selalu bernada negatif terhadap PKS, sementara DPP PKS justru sebaliknya memperlakukan HTI benar-benar sebagai seorang saudara seiman dalam perjuangan. Setidaknya hal ini terekam dari kunjungan silaturrahim beberapa pejabat tinggi PKS ke kantor DPP HTI pada tanggal 30 Juli tahun lalu.

Dimana dalam pertemuan ini Presiden PKS, Ir. Tifatul Sembiring, sebagai orang nomor 1 yang dibelakangnya berhimpun tak kurang dari 8 juta suara masyarakat Indonesia, dengan merendahkan hati berkunjung ke DPP HTI yang menurut Metro Realitas Metro-TV beberapa waktu lalu HTI hanyalah sebuah kelompok kecil saja di Indonesia.
Sikap lapang dada dan tidak ‘memusuhi’ siapa saja demi ukhuwah dan kemaslahatan umat Islam ini dikuatkan oleh pernyataan Mahfudz Shiddiq yang saat ini berposisi sebagai Ketua Fraksi PKS DPR RI. "PKS sejak kelahirannya tidak pernah meniatkan diri untuk menjadi ancaman siapapun, oleh karena itu kami tidak pernah mempersepsi siapapun sebagai ancaman," tegas Mahfudz (15/08/2007).

Sementara berbeda dengan sikap ‘istiqomah’ yang ditunjukkan DPP HTI terhadap PKS hingga detik ini. PKS justru sebaliknya berupaya merajut persaudaraan dan merendahkan diri. Meski sebaliknya HTI terbaca terus berupaya mendongkel citra Islam dari tubuh PKS. Buletin HTI Al-Islam edisi 400 yang mengusung judul ‘Berharap Kepada Partai Islam?’ Jika di telaah secara mendalam arahnya demikian jelas dan terang benderang, kemana maksud dan tujuannya. Demikian pula dengan Al-Islam edisi 356-nya yang memfitnah PKS menerima dana DKP. Walaupun sampai detik ini, setelah hampir setahun lamanya, mereka masih merasa nyaman dan ‘ogah’ meminta maaf. Alih-alih menyampaikan permohonan maaf, mereka malah bilang tuduhan atau fitnah yang berdalilkan qola ICW itu, mesti diposisikan sebagai ‘nasehat’ bagi PKS.

Membaca Sikap Kader HTI di Akar-Rumput

Setali tiga uang dengan pemimpinnya, sikap dan opini kader-kader HTI ditataran akar rumput juga tak jauh dari induknya. Seperti saudara ‘Bejo’ yang hingga hampir satu tahun ini tak punya nyali memunculkan jati dirinya. Orang umum mungkin bilang ia ‘berhasil’ menjadi sosok misterius, tapi bagi penulis si Bejo ini hanyalah kader HTI pengecut dan pecundang. Entah tulisan sendiri entah mencatut dari sumber resmi lain di HTI, tulisan-tulisan berjudul ‘Parpol Islam’ dan ‘Sulitnya Istiqomah’ yang muncul ketika isu PKS menjadi Partai Terbuka usai Mukernas 1-3 Februari 2008 silam, begitu gencar disebarluaskan via email-email yang berhasil ia bajak.

Demikian pula dengan kader HTI yang bernama Hanif Al-Falimbani. Beberapa hari setelah Mukernas PKS di Bali awal Februari lalu, di blognya ia mengetengahkan sebuah tulisan berjudul ‘Partai Keadilan Sejahtera Riwayatmu Kini … ‘. tak tanggung-tanggung di salah satu bagiannya ia menuliskan sebagai berikut “Tetapi ada satu hal yang semakin terang benderang dari sikap PKS ini, yang membuat pendapat sementara kalangan lebih meyakinkan untuk dibenarkan, yakni bahwa PKS memang tidak sungguh-sungguh memperjuangkan Syariat Islam dan Khilafah. Ada benarnya juga pendapat Jefrie Geofannie, PKS saat ini justru tidak ada bedanya dengan partai-partai nasionalis-sekuler lainnya.”

Seperti ‘qola ICW’ diatas, Sdr. Hanif ini juga merujuk kepada pernyataan Jefri Geofannie yang dalam dialog di MetroTV pada 5 Februari 2008 lalu jelas-jelas analisanya terhadap PKS sangat dangkal. Penulis menyaksikan sendiri acara tersebut. Sayangnya dalam tulisan yang cukup panjang lebar menciderai PKS dengan persangkaan kosong itu di balutnya dengan kedok atas nama ‘kasih sayang’.

Padahal saat masuk ke webblog penulis ini (http://rhisy.blogsome.com) apa kata-kata yang pertama kali muncul dari Sdr. Hanif ini “Wah.. ternyata di sini tho pembuat sampah-sampah busuk itu..”(09/01/08). Kelihatan gagah dan ‘pemberani’. Ia mengaku dirinya bukan orang HTI (agar terlihat orang netral), sayang sekali kebohongannya terbongkar dan di komentari beberapa orang (bahwa ia sungguh-sungguh HTI tulen luar dalam). Pada komentar berikutnya (terakhir) tertulis sebagai berikut, “Maaf Mas Aris.. saya bukan siapa-siapa, lebih baik antum menasehati saya secara pribadi saja ya.. Maaf..” Kasihan sekali pelaku kebohongan ini.

Disamping itu, kader-kader HTI juga rajin mengkoleksi berita-berita yang terkemas miring tentang PKS dari media-media umum dan nasional untuk dijadikan bahan perdebatan menyudutkan terhadap PKS. Seperti biasa, mereka beralasan sebagai nasehat dan masukan untuk PKS. Niatnya sih kelihatannya baik, namun apakah demikian kenyataanya?

Tak Semanis Bahasa ‘Mulut’

Ternyata tidak demikian faktanya. Fakta dilapangan tak ’semanis’ bualannya. Bersamaan ketika tulisan yang menanggapi buletin resmi HTI Al-Islam edisi 361 ramai dinikmati berbagai kalangan pada sekitar pertengahan tahun lalu, salah seorang kader PKS yang menjadi khotib Jum’at diberhentikan ‘tanpa hormat’ oleh kader-kader HTI yang merasa ‘berkuasa’ atas kebijakan DKM di sebuah masjid perusahaan di Kota Tangerang. Bukan karena ceramahnya menyimpang dari Islam, namun hanya lantaran isi ceramah kader PKS tersebut mementahkan opini tindakan fitnah yang dilakukan oleh ’sebuah gerakan Islam’ terhadap pejuang HAMAS di Palestina.

Khotib yang juga salah seorang ustadz PKS Kota Tangerang itu menjungkirkan tuduhan yang sebelumnya dikupas oleh khatib kader HTI yang mengisi khutbah pada Jum’at satu pekan sebelumnya dengan melontarkan fitnah kepada HAMAS sesuai dengan ‘rekomendasi’ dari DPP HTI lewat Al-Islam edisi 361-nya. Al-hasil sejak Jum’at itu ia tak lagi mendapat jadwal mengisi khutbah di masjid perusahaan tersebut.

Jika dicermati gayanya mirip perilaku Soeharto yang gemar memberangus siapa saja yang dianggap mengancam dan menelanjangi ‘kekuasaan’nya. Usai sholat Jum’at tersebut, khatib yang dikenal sebagai kader PKS itu langsung ‘dikeroyok’ dan dikerubungi kader-kader HTI yang bercokol di DKM. Intimidasi gaya lama.

Bukan hanya itu, ditahun 2002 sampai 2005-an juga ada fakta lain yang tak bisa ditutup-tutupi bagaimana sejatinya sikap hati mereka terhadap kader-kader PKS. Ketika sebuah LDK di sebuah kampus di Kota Tangerang tersusupi HTI dan dengan kelicikannya setelah beberapa waktu akhirnya LDK tersebut dikuasai oleh kader-kader HTI, maka apa yang terjadi? Kegiatan kajian lain selain yang ber-’merk’ HTI atas nama kebijakan organisasi ‘100%’ dihalang-halangi dan dipersulit alias dilarang. Bahkan uang yang merupakan hasil penggalangan dana oleh ‘kader-kader PKS’ dari kegiatan mahasiswa diluar kajian ber-merk HTI, dirampas untuk kepentingan kegiatan-kegiatan beraroma HT tanpa pertanggungjawaban. Penulis menjadi saksi langsung dan bahkan masih mengantongi nama kader HTI tersebut.

Namun, alhamdulillah perjalanan waktu menjadi jawaban yang sangat adil. kuartal pertama tahun 2005 kepengurusan HTI itu terjungkal dan hengkang lantaran kedzalimannya. Dan mohon maaf harus penulis sampaikan disini, otak utama dibalik penjungkalan dominasi kader HTI yang dzalim itu adalah penulis sendiri. Tak butuh waktu lama, hanya selama kurang-lebih 6 bulan penulis mendampingi para mahasiswa berdakwah ‘dibawah tanah’, LDK tersebut telah berhasil diselamatkan kembali dari orang yang dzalim. Kini, kondisinya telah berubah membaik. Saat amanah LDK dipegang kader-kader PKS, aktivis dakwah lain pun masih leluasa melakukan kegiatannya di kampus. Tanpa dihalang-halangi apalagi di kebiri.

Melihat fakta-fakta diatas memang menjadi miris. Belum menjadi ‘khalifah’ saja sudah dzalim, apalagi kalau betul-betul jadi khalifah versi mereka, bukan tidak mungkin akan jauuuuh lebih dzalim terhadap aktivis dakwah dari gerakan dakwah lain. Boleh saja mereka berbangga dan menyombongkan diri karena ‘mampu’ berkoar soal khilafah. Namun, jika khilafah yang dimaksud adalah khalifah yang dzalim seperti gambaran kader HTI yang bercokol di DKM dan LDK tersebut, umat Islam jelas tidak butuh.

Kenyataan ini memang tidak mengherankan jika merujuk pada sejarah HT mengenai sikap pendirinya, Syeikh Taqqiyudin An-Nabhani yang meminta ‘kekuasaan’ atas Ikhwan Yordania kepada As-Syahid Sayid Qutub rahimahullah (tahun 50-an). Padahal ketika itu Ikhwan mengajak Syaikh Taqiyudin An-Nabhani untuk memadukan perjuangan, namun justru yang terfikir olehnya adalah ingin mengambil alih kekuasaan atas Ikhwan di Yordania yang harus terpisah koordinasi dengan ikhwan di Mesir sebagai pusat gerakannya.

Barang kali beberapa nukilan fakta diatas cukup mewakili gambaran ‘tanda mata’ HTI untuk PKS. Sebuah tanda mata yang hingga hari ini terus mengalir laksana air dari hulu menuju hilir. Meski terus saja PKS didzalimi, nampaknya ia terus melaju dengan kerendah hati-annya. Terus berjuang wahai kafilah dakwah! Mudah-mudahan ulasan ini bermanfaat bagi umat yang rindu kepada kebenaran dan kebaikan.

http://rhisy.blogsome.com/category/pemikiran/