Tuesday 23 June 2009

Persiapan Finansial Menghambat Pernikahanku…..

Ini adalah kisah tentang seorang pemuda aktivitas dakwah, sebut saja Wawan. Wawan adalah memutuskan untuk menikah dan telah mendapatkan seorang calon istri (sebut saja bernama Wati). Bisa dikatakan bahwa proses untuk mendapatkan calon istri itu dilakukan dengan nyaris sempurna menurut kaca mata syariat. Ia mendapatkan calon istri dari guru ngajinya plus pertimbangan dari teman-temannya sesama aktivis dakwah.

Tibalah saat Wawan melamar gadis pilihannya. Kepada sang calom mertua Wawan menyatakan kemantapan hatinya untuk mempersunting si Wati yang juga seorang aktivis dakwah di kampusnya.

Terjadilah dialog antara Wawan dan kedua orang tua Wati. Sebuah pertanyaan klise yang diajukan kepada Wawan.

“Mas Wawan kan masih kuliah, Wati juga masih kuliah, bagaimana Mas Wawan akan menghidupi keluarga setelah menikah nanti? ” Tanya sang calon mertua.

“Bapak, Ibu, jangan khawatir akan nafkah. Rezeki sudah dijamin Allah! Apalagi kalau kita bertaqwa, maka Allah akan memberikan rezekinya dari arah yang di sangka – sangka. Kita harus menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Allah SWT.”

Jawaban tersebut secara akidah tidak salah (bahkan 100% benar!). Namun inilah yang justru menjadi permasalahan. Tentu saja bermasalah, orang tua Wati pastilah bukan sedang dalam posisi sebagai seorang dosen akidah yang sedang menguji mahasiswanya.

Mereka tidak sedang dalam keperluan untuk mengetahui pemikiran si calon menantu tentang ketauhidan tentang ketuhanan, negeri akhirat, dan sebagainya. Calon mertua tersebut sedang menanyakan gambaran fisik dan teknik tentang bagaimana sang calon menantu menyelesaikan permasalahan keseharian sebuah keluarga permasalahan finansial.

Dan jawaban sang calon menantu telah menyinggung perasaan! Sebab, calon mertua merasa digurui. “Belum jadi menantu sudah menggurui kayak ustadz saja, apalagi bila telah menjadi menantu kelak!” begitu kira – kira perasaaan yang berkecamuk pada orang tua Wati.

Ketersinggungan atas jawaban Wawan itulah yang akhirnya menjadi sebuah proses untuk mengambil keputusan telak : menolak lamaran Wawan atas Wati.

Tentunya Anda tidak ingin seperti Wawan. Tetapi mungkin juga belum menemukan jawaban yang lebih baik, karena tentu saja dibutuhkan jawaban yang bukan sekedar kata – kata. Dibutuhkan jawaban yang merujuk pada realitas. Apa yang Anda kerjakan nanti sangat dipengaruhi oleh apa yang Anda lakukan dan pikirkan sekarang.


***************
Wawan dalam cerita di atas mungkin beranggapan bahwa tuntutan persiapan financial konkret yang dikehendaki oleh calon mertua akan semakin menunda pernikahannya. Wawan seolah – olah ingin lari dari kenyataan dengan menggunakan jawaban yang sifatnya konsep akidah sebagai tameng.

Memang,ada orang yang menunda – menunda menikah, bahkan sampai cukup berumur, dengan alasan tidak memiliki perkerjaan dan penghasilan yang cukup.

Sementara itu, sebagian yang lain menasehati agar orang seperti ini segera mengakhiri masa lajangnya dan menyalahkan fikrah materialisme yang menjangkiti pikiran sebagai penyebabnya. Seolah – olah telah tertutup seluruh jalan untuk memiliki penghasilan dan pekerjaan yang memadai sebagai sebuah syarat keputusan menikah.

Saya menawarkan cara berpikir yang lain. Bila seseorang berumur 25 tahun dan belum memiliki kesiapan financial untuk menikah, jangan salahkan kesiapan financial sebagai penghambat pernikahan keselahannya terletak pada mengapa sudah usia 25 tahun kok berlum memiliki kesiapan financial ?

“Dan kawinkanlah orang – orang yang sendirian di antara kamu, dan orang – orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki – laki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Mahaluas (pemberianNya), lagi Maha Mengetahui. Dan orang – orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diriNya), sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya. ”
(QS. An- Nur ayat 32 - 33)
Pada ayat 32, Allah SWT memerintahkan para pemuda untuk segera menikah. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Ayat ini seharusnya menjadi pemicu semangat para pemuda untuk segera menikah. Walaupun demikian, bukan berarti seseorang boleh menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk tidak berusaha melakukan persiapan financial pernikahannya.

Pada ayat berikutnya Allah SWT menunjukkan bahwa di antara hambaNya yang diperintahkan untuk menikah ada yang masih belum mampu untuk melakukannya. Kepada orang yang seperti ini Allah menyuruhnya untuk menjaga kesucian diri hingga Allah memampukan mereka.

Jangan dikira bahwa Allah memampukan seseorang tanpa sebuah proses. Perhatikanlah, Allah memampukan setiap orang untuk berjalan dengan proses pembelajaran melalui berkali – kali, jatuh bangun. Allah memampukan seorang anak berbicara setelah melalui proses pembelajaran panjang dengan berbagai kesalahan yang sering dipandang lucu oleh orang-orang dewasa.

Buku Kecerdasan Finansial

Jadi, jangan berharap akan memperoleh kemampuan menikah begitu saja secara tiba-tiba. Harus melalui proses terlebih dahulu.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Atas Komentarnya