Monday 4 May 2009

Cantik, Ijinkan Aku Menunduk !!!

Demi Allah, Aku tak tahu apa harus kukecam hawa nafsuku, Atas Cinta. Atau mataku yang menggoda, ataukah hati ini. Jika kukecam hati, ia berkata : Gara – gara mata yang memandang! Dan jika kuhardik mata, ia berdalih : Ini kesalahan hati! Mata dan Hati telah dialiri darah, Maka wahai Rabbi, jadilah Penolongku atas mata dan hati ini.

Syaithan, kata Ibnu ‘Abbas, menempati tiga lokasi dalam diri seorang lelaki : pandangan, hati, dan ingatan. Sementara kedudukan syaithan dalam diri seorang wanita menurut faqihnya para sahabat ini ada pada lirikan mata, hati, dan kelemahannya. Luar biasa, Betapa semua titik lemah manusia telah diketahui syaithan.

Sungguh benar kemudian jika Ustad Rahmat ‘Abdullah mengatakan bahwa di titik lemah ujian datang. Demi Allah, ada banyak laki – laki jujur yang akan mengakui bahwa titik lemahnya ada pada kecantikan wajah. Sejujur para istri bangsawan – bangsawan Mesir di masa Yusuf ‘Alaihis Salam yang mengiris jemarinya menyaksikan ketampanan membius. Cukuplah ungkapan keterpanaan mereka mewakili perasaan para lelaki, “Haasyallaah, ini bukan manusia, ini malaikat yang mulia.” (QS. Yusuf ayat 31)

Di tengah kejujuran itu, biarlah kita merindu sosok – sosok yang pandangannya selalu tunduk, menyerusuk ke kedalam bumi. Walau ia menyimpan kekaguman pada kecantikan mahakarya Allah, tetapi kemampuan membedakan mana yang halal dan mana yang haram baginya telah mengajarkan kalimat, “Cantik, Ijinkan aku Menunduk”

Mari kita dengarkan Ummuh Salamah berkisah tentang santunnya ‘Utsman bin Thalhah dalam perjalanan mereka ke Madinah. Sungguh, hanya Allah yang mengawasi mereka sepanjang 400 kilometer itu. Ya. Padahal Ummuh Salamah adalah salah satu wanita tercantik di Makkah, dan ‘Utsman pun tergolong tampan.

Agaknya, ketundukan pandangan ‘Utsman bin Thalhah, kemulian akhlaqnya, dan kesuciannya inilah membuat Rasulullah mencegah ‘Umar membunuhnya saat sia masih musyrik dan manjadi tawanan Badar. Bahkan kemudian, beliau menetapkan hak pemegang kunci ka’bah padanya dan keturunannya saat penaklukan Makkah. Inilah yang beliau SAW lakukan, meski ‘Ali sang menantu mulia menginginkan dan meminta kedudukan itu untuk disatukan dengan hak pemberian minum jama’ah haji yang ada pada keturunan Abdul Muthalib.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Atas Komentarnya